Liputan6.com, Jakarta Apa bahaya malam 1 Suro? Malam 1 Suro bukan sekadar pergantian kalender dalam penanggalan Jawa. Lebih dari itu, malam ini dianggap sebagai momen sakral yang sarat dengan nuansa mistis.
Banyak masyarakat Jawa percaya bahwa malam 1 Suro dipenuhi oleh energi gaib yang kuat, sehingga berbagai aktivitas, terutama yang berisiko atau penuh euforia seperti pesta, sebaiknya dihindari. Tidak heran jika suasana di beberapa daerah terasa jauh lebih sunyi dan penuh kehati-hatian saat malam ini tiba.
Kepercayaan mengenai bahaya malam 1 Suro sudah mengakar sejak lama, diwariskan turun-temurun dalam bentuk larangan dan anjuran. Mulai dari tidak bepergian jauh, menghindari pernikahan, hingga pantangan mengadakan acara hiburan. Semuanya dipercaya sebagai bentuk penghormatan terhadap kekuatan tak kasat mata yang diyakini “berkeliaran” pada malam tersebut. Bagi sebagian masyarakat, melanggar pantangan ini dipercaya bisa mendatangkan kesialan, sakit, bahkan bencana.
Artikel ini akan membahas lebih dalam mengenai apa bahaya malam 1 Suro, serta menelusuri faktanya dalam konteks budaya Jawa yang kaya dan penuh makna.
Apa Bahaya Malam 1 Suro dan Mengapa Dianggap Berbahaya?
Apa bahaya malam 1 Suro? Bahaya malam 1 Suro adalah risiko munculnya hal-hal buruk jika bersikap sembrono, seperti bertengkar, membuat pesta, atau mengabaikan waktu yang seharusnya dipakai untuk menenangkan diri dan merenung.
Malam 1 Suro dalam tradisi Jawa dikenal sebagai waktu yang sakral dan penuh kehati-hatian. Kepercayaan ini bukan sekadar mitos, tapi bagian dari warisan budaya yang menjadikan malam 1 Suro sebagai momen sunyi untuk menyambut awal tahun Jawa dengan laku prihatin dan perenungan diri.
Bahaya malam 1 Suro lebih bersifat simbolik dan batiniah. Dalam Serat Centhini, malam ini disebut sebagai wewayanganing urip, yaitu bayangan ulang atas kehidupan, di mana manusia diajak untuk menyucikan niat, menata ulang hubungan dengan sesama, alam, dan Sang Pencipta.
Karena itulah, malam ini diisi dengan lelaku spiritual seperti tirakat, tapa bisu, puasa, hingga menyepi. Salah satu doa yang sering dibaca adalah potongan ayat dari Surah Al-Fatihah:
اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ
Ihdinaṣ-ṣirāṭal-mustaqīm (Tunjukkanlah kami jalan yang lurus), sebagai permohonan agar tetap berada di jalan yang benar, lahir dan batin.
Dalam sejarahnya, Sultan Agung bahkan menjadikan malam 1 Suro sebagai ritual kenegaraan, bukan sebagai malam perayaan atau hiburan. Sebagai raja Mataram yang pertama kali menyatukan penanggalan Hijriah dengan kalender Jawa, ia menetapkan 1 Suro sebagai momentum spiritual untuk seluruh rakyatnya.
Menurut Muhammad Solikhin dalam bukunya "Misteri Bulan Suro: Perspektif Islam Jawa" (2010:18), "Dari Sultan Agung inilah, pola peringatan tahun Hijriah kemudian dilaksanakan secara resmi oleh negara, dan diikuti seluruh masyarakat Jawa.”
Maka, larangan untuk membuat acara besar di malam ini sesungguhnya adalah ajakan untuk introspeksi, mengawali tahun baru Jawa dengan kesadaran spiritual, serta menjaga harmoni antara manusia dan alam sebagaimana nilai-nilai luhur yang diwariskan leluhur.
Apa Bahaya Malam 1 Suro? Ini Pantangan yang Wajib Dipahami
1. Dilarang Mengadakan Pesta atau Hiburan
Pada malam 1 Suro, segala bentuk pesta, konser musik, atau pertunjukan hiburan sebaiknya dihindari. Dalam budaya Jawa, malam ini dianggap sakral dan penuh dengan energi gaib yang sensitif terhadap kebisingan dan euforia. Suasana hening dipercaya menjaga keseimbangan spiritual.
Dalam Serat Centhini, disebutkan bahwa malam Suro adalah waktu untuk “nyepi rasa” — menenangkan diri dari dunia luar, bukan bersenang-senang. Selain unsur mistis, larangan ini mencerminkan ajaran untuk menata batin. Masyarakat diajak melakukan introspeksi dan menahan diri dari kesenangan duniawi.
2. Tidak Boleh Menikah di Malam 1 Suro
Menikah pada malam 1 Suro diyakini bisa mengundang kesialan dalam rumah tangga. Keyakinan ini telah mengakar sejak era Mataram Islam, di mana malam Suro dianggap sebagai “malem suwung” — malam hening, bukan malam perayaan. Masyarakat Jawa kuno meyakini bahwa malam ini bukan saat yang tepat untuk memulai sesuatu yang besar seperti pernikahan, karena banyak energi negatif yang beredar dan mengganggu keharmonisan pasangan di kemudian hari.
Di luar sisi mistisnya, larangan ini sebenarnya mencerminkan pandangan filosofis. Malam 1 Suro adalah simbol awal mula yang disucikan melalui kontemplasi dan kesunyian, bukan dirayakan secara duniawi. Menjalankan pernikahan — acara yang penuh pesta — pada malam itu dinilai tidak selaras dengan nilai spiritual malam 1 Suro.
3. Tidak Disarankan Bepergian Jauh
Bahaya malam 1 Suro juga diyakini muncul saat seseorang melakukan perjalanan jauh tanpa keperluan mendesak. Perjalanan malam dianggap membuka celah bertemu gangguan makhluk halus atau mengalami kecelakaan.
Dalam kitab Primbon Betaljemur Adammakna, malam Suro termasuk dalam waktu “bangas padewan”, yaitu malam yang tidak disarankan untuk aktivitas luar rumah.Dari sisi praktis, larangan ini juga menjaga keselamatan, karena perjalanan malam di masa lalu sangat rawan.
4. Tidak Melakukan Aktivitas Besar atau Memulai Proyek Baru
Masyarakat Jawa menghindari keputusan besar seperti pindah rumah, membuka usaha, atau mengambil sumpah jabatan pada malam 1 Suro. Ini karena malam tersebut dipercaya sebagai waktu “transisi energi” yang belum stabil.
Filosofi titen dalam budaya Jawa mengajarkan untuk memperhatikan hari dan malam yang baik. Malam Suro termasuk “wewaton” — malam untuk berhenti sejenak dan menyucikan niat, bukan malam untuk mulai melangkah.
5. Menghindari Konflik atau Pertengkaran
Emosi negatif pada malam 1 Suro dipercaya dapat memicu efek berantai dari energi buruk, sehingga masyarakat Jawa dianjurkan untuk menahan amarah, menghindari cekcok, dan menjaga keharmonisan dalam keluarga.
Dalam ajaran Kejawen, prinsip nglakoni sabar lan narima—menjalani hidup dengan kesabaran dan keikhlasan—diperkuat pada malam ini sebagai bagian dari laku spiritual. Nilai ini sejalan dengan ajaran Islam, sebagaimana dalam QS. Ali Imran ayat 134:
وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ
Wal-kâzhimînal-ghaizha wal-‘âfîna ‘anin-nâs
(Dan orang-orang yang menahan amarah dan memaafkan manusia)
Larangan untuk memicu konflik di malam 1 Suro sejatinya menjadi pengingat bahwa tahun spiritual sebaiknya dimulai dengan hati yang tenang, batin yang bersih, dan semangat untuk menjaga harmoni.
5 Tradisi Spiritual Malam 1 Suro: Menyucikan Diri Menyambut Tahun Baru Jawa
Malam 1 Suro bukan hanya tentang bahaya dan pantangan, tetapi juga momentum sakral untuk menyucikan diri. Dalam budaya Jawa, malam ini dipenuhi tradisi spiritual yang bertujuan memperkuat batin, memperbaiki niat, dan menyelaraskan hidup dengan alam semesta.
Berikut adalah 5 tradisi spiritual malam 1 Suro yang sarat makna dan dijalankan secara turun-temurun.
1. Tirakat: Latihan Menahan Diri dan Menyucikan Jiwa
Tirakat berasal dari kata Arab thariqah (الطَّرِيْقَةُ) yang berarti jalan spiritual. Dalam konteks Jawa, tirakat dikenal sebagai laku prihatin — mengurangi kenikmatan duniawi demi memperkuat kesadaran batin. Bentuknya beragam: puasa mutih, melek (tidak tidur semalam), atau menyepi.
Dalam Serat Centhini, tirakat disebut sebagai jalan “nglakoni wirid lan sepi ing pamrih” — memperbanyak zikir dan tidak mengejar dunia. Ritual ini bertujuan menyambut tahun baru Jawa dengan jiwa yang bersih dan niat yang kuat. Nilainya selaras dengan filosofi eling lan waspada — selalu ingat kepada Tuhan dan berhati-hati dalam hidup.
2. Tapa Bisu: Diam untuk Mendengar Suara Batin
Tapa bisu adalah tradisi sakral yang paling menonjol dalam kirab malam 1 Suro di Keraton Yogyakarta dan Surakarta. Para peserta berjalan kaki dalam diam total: tanpa bicara, makan, atau minum.
Diam dianggap sebagai bentuk pembersihan batin dari kebisingan dunia.
الصَّمْتُ حِكْمَةٌ وَقَلِيلٌ فَاعِلُهُ
As-shamtu ḥikmatun wa qalīlun fā‘iluhu (Diam adalah kebijaksanaan, namun hanya sedikit yang mampu melakukannya)
Dalam budaya Jawa, kata-kata memiliki daya. Dengan berdiam diri, seseorang belajar menahan diri dan membuka ruang bagi suara hati untuk berbicara.
3. Ziarah Makam Leluhur: Mengenang Asal dan Mendoakan Restu
Ziarah atau nyekar dilakukan ke makam leluhur menjelang atau saat malam 1 Suro. Tradisi ini mencerminkan ajaran sangkan paraning dumadi — mengenal asal-usul dan kembali ke nilai luhur.
Dalam Babad Tanah Jawi, ziarah malam Suro dianggap membuka saluran spiritual antara keturunan dan leluhur untuk meminta restu dan keselamatan. Kegiatan ini bukan semata rutinitas, melainkan bentuk penghormatan terhadap akar spiritual dan sejarah keluarga.
4. Ruwatan dan Tolak Bala: Membersihkan Diri dari Sengkala
Ruwatan malam 1 Suro dilakukan untuk membersihkan diri dari sengkala (energi buruk) dan memutus nasib sial. Prosesi ini bisa berupa penyucian diri dengan air kembang, pembacaan doa, hingga pertunjukan wayang ruwatan.
Dalam Primbon Betaljemur Adammakna, disebutkan bahwa ruwatan di malam Suro memiliki kekuatan ganda karena bertepatan dengan “malem tibaning rejeki lan balak”. Tradisi ini menegaskan pentingnya menjaga harmoni antara manusia dan kekuatan tak kasat mata.
5. Kirab Pusaka: Menyucikan Warisan Leluhur
Kirab pusaka adalah prosesi mengarak benda-benda sakral seperti keris, tombak, dan payung kerajaan di malam 1 Suro. Dilakukan dengan khidmat dan dalam keadaan tapa bisu, kirab ini melambangkan pembersihan energi warisan leluhur.
Benda pusaka dalam tradisi Jawa bukan sekadar simbol kekuasaan, tapi medium spiritual yang diyakini menyimpan nilai-nilai luhur. Kirab bukan hanya prosesi visual, tetapi ritual transenden — membawa manusia menapak warisan spiritual masa lalu menuju masa depan yang bersih.
Pertanyaan Umum Seputar Topik
1. Kenapa malam 1 Suro dianggap angker?
Karena dipercaya sebagai malam dengan energi spiritual tinggi dan kehadiran makhluk gaib. Masyarakat Jawa menjadikannya malam sakral untuk tirakat dan introspeksi.
2. Apa saja pantangan di malam 1 Suro?
Pantangan umum meliputi menikah, berpesta, bepergian jauh, dan memulai proyek besar. Hal ini dilakukan untuk menghindari gangguan atau kesialan.
3. Apa tujuan melakukan tirakat di malam 1 Suro?
Tirakat bertujuan membersihkan batin dan memohon keselamatan di tahun baru Jawa. Ini juga menjadi bentuk pengendalian diri secara spiritual.
4. Bolehkah menikah di malam 1 Suro?
Secara adat tidak dianjurkan karena dianggap membawa sial. Namun secara agama atau hukum tidak ada larangan resmi.
5. Apakah semua orang Jawa percaya mitos 1 Suro?
Tidak semua, terutama generasi muda yang mulai melihatnya secara simbolis. Namun banyak yang tetap menghargai nilai-nilai spiritual dan tradisi leluhur.