Makna Bulan Suro Bagi Orang Jawa, Pahami Pantangan dan Tradisi Penuh Spiritualitas

1 week ago 13

Liputan6.com, Jakarta Bulan Suro bagi orang Jawa merupakan bulan pertama dalam kalender Jawa-Islam, yang bertepatan dengan bulan Muharram dalam kalender Hijriah. Nama "Suro" sendiri berasal dari kata "Asyura" dalam bahasa Arab, merujuk pada tanggal 10 Muharram. Bagi masyarakat Jawa, bulan Suro memiliki makna dan tradisi yang kaya, memadukan kepercayaan lokal dengan ajaran Islam.

Kalender Jawa yang menyatukan unsur Islam dan kebudayaan lokal diperkenalkan oleh Raja Mataram, Sultan Agung Hanyokrokusumo, pada tahun 1633 M. Tujuannya adalah untuk mempersatukan masyarakat Jawa melalui pendekatan budaya dan spiritual. Hal ini menjadikan bulan Suro bagi orang Jawa bukan sekadar penanda waktu, melainkan juga simbol persatuan dan identitas.

Bulan Suro bagi orang Jawa dianggap sebagai bulan yang sakral dan penuh energi spiritual. Dalam kosmologi Jawa, bulan ini diyakini sebagai waktu ketika dunia gaib dan dunia manusia saling bersinggungan, sehingga berbagai ritual dan kepercayaan mistis berkembang pesat.

Untuk memahami arti bulan Suro bagi orang Jawa dengan lebih dalam lagi, simak penjelasan selengkapnya berikut ini sebagaimana telah Liputan6.com rangkum dari berbagai sumber, Kamis (26/6/2025).

Malam 1 Suro 2022 atau 1 Muharram 1444 H jatuh pada 29 Juli 2022, menandakan awal tahun baru penanggalan Islam dan Jawa. Malam 1 Suro juga dipercaya sebagai waktu munculnya lelembut ke alam manusia. Untuk itu, ada sejumlah pantangan bagi masyarakat J...

Makna Spiritual Bulan Suro

Bulan Suro bagi orang Jawa sering disebut sebagai "bulan prihatin", yaitu waktu untuk melakukan refleksi diri dan pensucian jiwa. Banyak yang mengaitkan bulan ini dengan tragedi Karbala, sehingga menjadi momen untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dan menghindari kegiatan duniawi yang berlebihan. Tirakatan dan kegiatan spiritual lainnya sangat dianjurkan selama bulan Suro.

Dalam kosmologi Jawa, bulan Suro diyakini sebagai waktu ketika dunia gaib dan manusia saling bersinggungan. Kepercayaan ini memunculkan berbagai larangan dan anjuran, sebagai bentuk penghormatan terhadap energi spiritual yang dianggap lebih kuat pada bulan ini. Masyarakat Jawa percaya bahwa menjaga keselarasan antara alam mikrokosmos (diri sendiri) dan makrokosmos (alam semesta) sangat penting selama bulan Suro.

Nilai kearifan lokal sangat terasa dalam tradisi bulan Suro bagi orang Jawa. Terjadi integrasi antara tradisi Jawa dengan ajaran Islam, menghasilkan apa yang dikenal sebagai Islam Kejawen. Filosofi utama yang mendasari tradisi ini adalah menjaga harmoni alam semesta dan mendekatkan diri kepada Tuhan melalui laku spiritual.

Bulan Suro bagi orang Jawa bukan hanya tentang ritual dan larangan, tetapi juga tentang pemahaman mendalam mengenai diri sendiri dan alam semesta. Ini adalah waktu untuk merenungkan makna hidup, memperbaiki diri, dan memperkuat hubungan dengan Sang Pencipta.

Pantangan Utama di Bulan Suro

Ada beberapa pantangan yang dipercaya oleh masyarakat Jawa selama bulan Suro, meskipun sebagian besar tidak memiliki dasar agama yang kuat. Pantangan-pantangan ini lebih merupakan bagian dari adat dan kepercayaan lokal yang telah diwariskan secara turun-temurun.

Salah satu pantangan yang paling umum adalah larangan menikah. Masyarakat Jawa percaya bahwa menikah pada bulan Suro akan membawa sial dan konflik dalam rumah tangga. Kepercayaan ini sangat kuat di beberapa daerah, seperti Desa Sukomarto dan Tuban.

Selain menikah, khitan (sunat) juga dihindari pada bulan Suro di beberapa daerah Jawa. Hal ini diyakini dapat memperburuk kesehatan anak atau mengundang kesialan. Masyarakat percaya bahwa bayi akan mengalami penyakit atau gangguan spiritual jika dikhitan pada bulan ini.

Pindah rumah atau boyongan juga termasuk dalam daftar pantangan selama bulan Suro. Masyarakat percaya bahwa perubahan lingkungan dapat mendatangkan kegelisahan atau energi negatif. Larangan ini seringkali berjalan bersamaan dengan larangan khitan dan pernikahan.

Membangun rumah baru juga dianggap tidak pantas dilakukan selama bulan Suro. Hal ini diyakini dapat mengganggu energi suci bulan tersebut dan membawa kesialan bagi keluarga selama setahun ke depan.

Tradisi tujuh bulanan (tingkeban) juga sebaiknya tidak dilaksanakan saat bulan Suro. Hajatan ini dikhawatirkan dapat menimbulkan gangguan spiritual pada bayi dan ibu hamil.

Bepergian jauh juga sebaiknya dihindari selama bulan Suro, karena diyakini dapat meningkatkan risiko kecelakaan dan gangguan halus. Larangan ini terkait erat dengan mitos malam 1 Suro sebagai malam awal tahun Jawa yang penuh dengan energi mistis.

Melakukan hajatan umum seperti sunatan massal, selamatan desa, atau hiburan seni juga sebaiknya dihindari selama bulan Suro. Hal ini diyakini dapat mengganggu keberkahan dan memancing marabahaya.

Penting untuk diingat bahwa pantangan-pantangan ini bersifat lokal dan tidak selalu berdasarkan ajaran agama Islam. Masyarakat Jawa memiliki kepercayaan dan tradisi yang unik, yang perlu dihormati dan dipahami dalam konteks budaya yang lebih luas.

Ritual Sakral Menyambut 1 Suro

Selain pantangan, bulan Suro bagi orang Jawa juga diwarnai dengan berbagai ritual sakral yang bertujuan untuk membersihkan diri, mendekatkan diri kepada Tuhan, dan memohon keselamatan. Ritual-ritual ini seringkali dilakukan secara individu maupun kelompok, dengan tata cara yang berbeda-beda sesuai dengan tradisi masing-masing daerah.

Salah satu ritual yang paling umum adalah semedi atau tapa, yaitu meditasi di tempat-tempat yang dianggap keramat, seperti puncak gunung, tepi laut, atau makam leluhur. Beberapa lokasi populer untuk semedi di malam 1 Suro antara lain Puncak Suroloyo di Yogyakarta dan Alas Purwo di Banyuwangi.

Sesirih atau laku prihatin juga menjadi bagian penting dari ritual bulan Suro. Laku ini dilakukan dengan cara mengurangi makan minum dan kebutuhan hidup jasmani sehari-hari, seperti puasa mutih (hanya makan nasi putih), puasa ngrowot (hanya makan umbi-umbian), atau puasa patigeni (tidak makan, minum, tidur, dan tidak terkena cahaya).

Sesuci atau jamasan pusaka juga merupakan ritual penting dalam menyambut bulan Suro. Ritual ini dilakukan dengan cara membersihkan benda-benda pusaka yang dianggap sakral, seperti keris, tombak, atau gamelan. Tujuannya adalah untuk menghilangkan energi negatif dan memohon perlindungan dari Tuhan.

Selain ritual-ritual individu, sarasehan atau temu wicara juga sering diadakan dalam rangka menyambut bulan Suro. Sarasehan ini biasanya diisi dengan diskusi mengenai berbagai isu kebangsaan, refleksi diri, dan doa bersama untuk keselamatan bangsa.

Pandangan Islam vs Tradisi Jawa

Penting untuk memahami bahwa tradisi bulan Suro bagi orang Jawa memiliki perbedaan dengan pandangan Islam mengenai bulan Muharram. Dalam Islam, bulan Muharram adalah salah satu dari empat bulan haram yang dimuliakan, namun tidak ada larangan untuk melakukan aktivitas halal di bulan ini. Sebaliknya, umat Islam dianjurkan untuk memperbanyak ibadah, seperti puasa dan sedekah, selama bulan Muharram.

Larangan-larangan yang ada dalam tradisi bulan Suro bagi orang Jawa lebih bersumber dari urf (adat lokal) dan kepercayaan yang telah diwariskan secara turun-temurun. Beberapa ulama menganggap bahwa larangan-larangan ini termasuk dalam kategori thiyarah (takhayul) yang tidak diakui dalam Islam.

Meskipun demikian, penting untuk menghormati tradisi dan kepercayaan masyarakat Jawa, selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar agama Islam. Dalam hal ini, dialog dan pemahaman yang baik antara ulama dan tokoh masyarakat sangat diperlukan untuk menjaga kerukunan dan harmoni.

Dalam menyikapi tradisi bulan Suro bagi orang Jawa, umat Islam sebaiknya mengedepankan sikap bijaksana dan toleran. Menghormati adat dan tradisi lokal adalah bagian dari kearifan, namun tetap berpegang teguh pada ajaran agama Islam adalah kewajiban.

Jika ada aktivitas atau ritual yang dianggap kontroversial, sebaiknya dikonsultasikan dengan ulama atau tokoh agama yang компетen untuk mendapatkan penjelasan dan solusi yang terbaik. Dengan demikian, tradisi bulan Suro dapat tetap dilestarikan tanpa mengabaikan akidah dan syariat Islam.

Bulan Suro bagi orang Jawa adalah warisan budaya yang kaya akan makna spiritual dan filosofi. Tradisi ini merupakan hasil integrasi antara ajaran Islam dengan nilai-nilai kultural lokal, yang menciptakan identitas unik bagi masyarakat Jawa. Dalam menyikapi tradisi ini, penting untuk menjaga keseimbangan antara menghormati adat dan berpegang teguh pada ajaran agama.

Dengan memahami makna dan filosofi yang terkandung dalam tradisi bulan Suro, kita dapat melestarikan kearifan lokal ini secara kritis dan bijaksana. Mari kita jaga tradisi ini sebagai bagian dari kekayaan budaya bangsa, tanpa mengabaikan akidah dan syariat Islam.

FAQ (Frequently Asked Questions)

Q: Apakah pantangan Suro berlaku secara agama?

A: Murni tradisi lokal, bukan ajaran Islam.

A: Diperbolehkan selama memenuhi syarat syar'i.

Q: Mengapa orang Jawa takut hajatan di Suro?

A: Keyakinan turun-temurun tentang undangan malapetaka.

Q: Tempat ritual Suro paling terkenal?

A: Keraton Yogyakarta, Parangtritis, Puncak Suroloyo.

Q: Apa perbedaan Suro dan Muharram?

A: Suro: konsep budaya Jawa; Muharram: istilah agama.

Q: Bolehkah bepergian malam 1 Suro?

A: Secara Islam boleh, tapi masyarakat Jawa menghindari.

Q: Apa filosofi jamasan pusaka?

A: Simbol pembersihan diri & penghormatan leluhur.

Q: Bagaimana menyikapi tradisi Suro secara bijak?

A: Pisahkan antara adat dan syariat, utamakan niat baik.

Q: Ritual apa yang dianjurkan Islam di Muharram?

A: Puasa Asyura (10 Muharram), sedekah, memperbaiki hubungan sosial.

Q: Apakah larangan Suro berlaku untuk non-Jawa?

A: Hanya sebagai penghormatan budaya, tidak mengikat.

Read Entire Article
Hasil Tangan | Tenaga Kerja | Perikanan | Berita Kumba|