Liputan6.com, Jakarta 1 Suro itu artinya apa? Dalam budaya Jawa, malam 1 Suro bukanlah sekadar malam pergantian tahun, melainkan momen sakral yang sarat dengan muatan spiritual, simbolisme kosmologis, dan ritual adat yang telah diwariskan lintas generasi. Tradisi ini tidak hanya dirayakan oleh masyarakat pedesaan, tetapi juga oleh komunitas perkotaan yang tetap menjaga nilai-nilai leluhur sebagai bagian dari identitas budaya.
Perayaan 1 Suro selalu berlangsung pada malam menjelang tanggal 1 Muharram dalam kalender Hijriyah dan menjadi penanda tahun baru dalam kalender Jawa. Namun lebih dari sekadar perhitungan waktu, malam ini dipercaya sebagai waktu yang paling tepat untuk bertafakur, membersihkan diri dari energi negatif, dan menjalin kembali hubungan spiritual dengan Sang Pencipta dan leluhur.
Dengan nuansa mistis yang kuat dan berbagai larangan serta pantangan yang harus ditaati, malam 1 Suro menjadi salah satu titik penting dalam kehidupan kultural masyarakat Jawa. Berikut selengkapnya 1 Suro itu artinya apa yang mencakup sejarah, tradisi malam yang dianggap paling keramat dalam satu tahun tersebut.
1. 1 Suro Itu Artinya Apa? Ini Asal-Usul dan Penetapannya
Kalender Jawa yang kita kenal sekarang merupakan hasil dari perpaduan antara sistem penanggalan Saka (Hindu-Buddha) dan Hijriyah (Islam), yang diciptakan oleh Sultan Agung dari Mataram Islam pada tahun 1633 M. Langkah ini diambil sebagai strategi kultural dan politis untuk mempersatukan rakyat Jawa yang terbelah antara kelompok kejawen (abangan) dan Islam (putihan).
1 Suro itu artinya apa? Menurut Kiswo (2022) sebagaimana dikutip dalam kajian yang dipublikasikan di situs Raden Intan Repository, suro merupakan sebutan bulan Muharram dalam masyarakat Jawa. Istilah "Suro" sendiri diambil dari kata “Asyura” dalam bahasa Arab yang berarti suci atau mulia, dan merujuk pada bulan Muharram dalam Islam. Sultan Agung sengaja memilih kata ini untuk menekankan kesucian bulan tersebut dan sekaligus menjembatani nilai-nilai lokal dengan ajaran agama Islam.
Dari sinilah malam 1 Suro mulai diposisikan sebagai malam sakral dalam kalender Jawa. Dalam buku Sejarah Indonesia karya Windriatu juga menjelaskan bagaimana masyarakat Jawa menganggap hari 1 Suro ini sebagai hari keramat. Jadi jangan heran jika banyak kegiatan atau ritual tertentu yang dilakukan pada hari ini.
2. Kapan 1 Suro? 1 Suro 2025 Bertepatan dengan Jumat Kliwon
1 Suro itu artinya apa? 1 Suro adalah hari pertama dalam kalender Jawa yang bertepatan dengan 1 Muharram dalam kalender Hijriah. Dalam tradisi Jawa, 1 Suro dimaknai sebagai awal tahun yang sarat nilai spiritual.
Mengacu pada Kalender Hijriah Indonesia yang dirilis oleh Kementerian Agama, 1 Suro tahun 2025 jatuh pada Jumat, 27 Juni 2025. Malam 1 Suro dimulai sejak Kamis malam, 26 Juni 2025, tepat setelah maghrib, dan berlanjut hingga fajar keesokan harinya.
Tahun ini, 1 Suro juga bertepatan dengan Jumat Kliwon, yang dalam kepercayaan masyarakat Jawa dikenal sebagai hari dengan energi spiritual yang sangat kuat.
- Malam 1 Suro: Kamis malam, 26 Juni 2025 (setelah maghrib).
- 1 Suro / 1 Muharram 1447 H: Jumat, 27 Juni 2025, sekaligus ditetapkan sebagai hari libur nasional oleh pemerintah
Gabungan antara 1 Suro, 1 Muharram, dan Jumat Kliwon ini disebut sebagai formasi waktu langka yang hanya terjadi 8-10 tahun sekali. Maka tidak heran jika masyarakat Jawa menyambutnya dengan kehati-hatian serta ritual yang lebih khusyuk dan penuh makna.
Kepercayaan ini diperkuat oleh keyakinan bahwa kombinasi tersebut memperbesar potensi "pembukaan portal" antara dunia nyata dan gaib, menjadikan malam itu waktu ideal untuk memohon keselamatan, membersihkan diri, dan menjauhkan malapetaka.
3. Tirakat, Pantangan, dan Kirab Pusaka Malam 1 Suro
1 Suro itu artinya apa? Bagi masyarakat Jawa, 1 Suro merupakan hari pertama dalam kalender Jawa yang jatuh bersamaan dengan 1 Muharram dalam kalender Hijriah. Ritual utama pada malam ini adalah tirakat dan laku prihatin, yakni tindakan spiritual seperti puasa, tapa bisu, hingga tidak tidur semalam suntuk. Tujuannya adalah untuk introspeksi dan mengikis hawa nafsu agar memasuki tahun baru dengan jiwa yang bersih.
Selain itu, Keraton Yogyakarta dan Surakarta rutin mengadakan kirab pusaka—seperti keris, tombak, dan kerbau putih Kyai Slamet—yang dipercaya menyimpan kekuatan spiritual. Prosesi kirab dilakukan dalam keheningan mutlak sebagai bentuk penghormatan terhadap leluhur.
Masyarakat juga menghindari kegiatan besar seperti pernikahan atau bepergian jauh. Bahkan sebagian besar orang memilih tidak keluar rumah karena malam ini dianggap sebagai waktu “rawan gangguan makhluk halus” dan harus disikapi dengan kesunyian dan ketenangan.
Menurut Muhammad Solikhin dalam bukunya "Misteri Bulan Suro: Perspektif Islam Jawa" (2010), malam Satu Suro memiliki nilai sakral yang erat kaitannya dengan tradisi budaya keraton. Pada masa lampau, keraton secara rutin mengadakan berbagai upacara dan ritual yang kemudian diwariskan secara turun-temurun kepada masyarakat.
Muhammad Solikhin menulis dalam bukunya, “Dari Sultan Agung inilah, pola peringatan tahun Hijriah kemudian dilaksanakan secara resmi oleh negara, dan diikuti seluruh masyarakat Jawa. Berbagai ritual perayaan Muharram dan Asyura di Indonesia terus lestari sampai sekarang berkat jasa Sultan Agung.”
4. Tradisi dan Simbolisme Lokal dari Jawa ke Pesisir
Tradisi yang menyertai malam 1 Suro berbeda-beda di tiap daerah.
- Pati: Kenduri Suro, yaitu syukuran dan doa bersama warga sebagai wujud rasa syukur menyambut tahun baru Jawa.
- Yogyakarta: Kirab Mubeng Beteng, yakni berjalan mengelilingi benteng keraton dalam keadaan tapa bisu (tanpa bicara, makan, dan minum) sebagai bentuk introspeksi dan refleksi diri. Menurut Jurnal Dialog (Ridha Hayati, 2020), ritual ini melambangkan perlindungan dan keselamatan dari keraton.
- Solo (Surakarta): Kirab Pusaka Malam 1 Suro atau Kirab Kerbau Bule, berupa arak-arakan benda pusaka keraton seperti keris, kerbau bule dan tombak sakral. Ritual ini diiringi tapa bisu oleh abdi dalem dan masyarakat sebagai bentuk penghormatan, penyucian diri, dan penyambutan tahun baru Jawa.
- Parangkusumo (Bantul, pesisir selatan Yogyakarta): Labuhan Suro, yaitu pelarungan sesaji ke laut sebagai bentuk penghormatan kepada penguasa laut dan doa memohon keselamatan.Magetan: Ledug Suro, ditandai dengan iring-iringan budaya dan tradisi rebutan bolu Rahayu yang dipercaya membawa berkah bagi yang mendapatkannya.
Simbol-simbol seperti bunga, dupa, makanan tradisional, dan air suci digunakan dalam setiap tradisi sebagai representasi dari harapan, perlindungan, dan transformasi spiritual menuju fase hidup yang lebih baik.
5. Spiritualitas Jawa: Kosmologi dan Relasi dengan Leluhur
Dalam kosmologi Jawa, malam 1 Suro diyakini sebagai titik intens di mana energi spiritual mencapai puncaknya. Filosofi Tri Tangtu—hubungan harmonis antara manusia, alam, dan Tuhan—menjadi dasar dari seluruh prosesi yang dijalankan.
Masyarakat percaya bahwa pada malam ini, leluhur turun ke dunia untuk memantau dan memberikan restu kepada keturunannya. Oleh karena itu, banyak orang melakukan ziarah ke makam orang tua atau sesepuh keluarga untuk mendoakan mereka.
Selain sebagai malam doa dan pengampunan, 1 Suro juga dimaknai sebagai peringatan terhadap kefanaan hidup. Perjalanan tapa bisu menjadi simbol refleksi terhadap apa yang sudah dan belum dilakukan, sebagai bentuk pertanggungjawaban pribadi kepada Tuhan.
6. Perpaduan Islam dan Kejawen
Meskipun berakar dari tradisi Jawa, malam 1 Suro tetap harmonis dengan ajaran Islam. Banyak umat Islam memadukan tirakat dengan ibadah puasa Asyura (9-10 Muharram), menyantuni anak yatim, dan berzikir semalam suntuk.
Hal ini menunjukkan bahwa malam 1 Suro adalah contoh sinkretisme budaya dan agama yang berjalan beriringan, tanpa saling mengalahkan. Asalkan tidak melibatkan unsur syirik, umat Islam dapat mengikuti tradisi ini sebagai bentuk refleksi diri dan penguatan spiritual.
Tapi, satu hal yang perlu selalu kita ingat adalah pentingnya mencukupkan diri dengan ajaran yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad dan para sahabat beliau. Jika mereka tidak pernah melakukan amalan khusus dalam rangka menyambut tahun baru Hijriyah, maka sikap terbaik bagi kita adalah mengikuti jejak mereka dalam hal ini.
Sebagaimana sering diungkapkan oleh para ulama Ahlus Sunnah, mereka menyebutkan sebuah kaidah penting:
لَوْ كَانَ خَيْرًا لَسَبَقُونَا إِلَيْهِ
“Seandainya suatu amalan itu baik, tentu para sahabat telah mendahului kita dalam melakukannya.” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, Ibnu Katsir, tafsir surat Al-Ahqaf)
Ungkapan ini menjadi pedoman untuk menilai setiap bentuk ibadah atau amalan baru yang tidak memiliki landasan dari praktik para sahabat. Dengan demikian, sikap berhati-hati dalam perkara agama merupakan bentuk kecintaan terhadap sunnah dan bentuk penghormatan terhadap warisan generasi terbaik umat ini.
Pertanyaan dan Jawaban Populer tentang Malam 1 Suro
Q: Apa itu malam 1 Suro dalam budaya Jawa?
A: Malam 1 Suro adalah malam pertama bulan Suro dalam kalender Jawa yang bertepatan dengan 1 Muharram dan diyakini sebagai waktu sakral untuk introspeksi dan tirakat.
Q: Apa yang membuat 1 Suro 2025 dianggap istimewa?
A: Karena bertepatan dengan 1 Muharram dan jatuh pada Jumat Kliwon, yang dianggap sebagai hari dengan energi spiritual paling tinggi dalam tradisi Jawa.
Q: Apa saja pantangan di malam 1 Suro?
A: Tidak menikah, tidak bepergian jauh, tidak membuat keributan, dan dianjurkan untuk tirakat atau tapa.