Karya monumental Max Havelaar yang ditulis oleh Eduard Douwes Dekker dengan nama pena Multatuli menjadi salah satu kritik kolonialisme paling tajam yang pernah ditulis. Melalui tokoh Havelaar, seorang pejabat Belanda yang menentang sistem tanam paksa di Lebak, Banten, buku ini menyajikan potret ketidakadilan dan penindasan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial. Banyak yang menganggap novel ini sebagai sindiran tajam terhadap sistem kekuasaan kolonial, meskipun sebagian kalangan menilai bahwa tujuan utama penulis adalah untuk memulihkan reputasinya. Meski begitu, Max Havelaar tetap menjadi tonggak penting dalam sejarah sastra dan perlawanan terhadap ketidakadilan kolonial.
8. Sapiens – Yuval Noah Harari
Buku Sapiens: A Brief History of Humankind karya Yuval Noah Harari mengajak pembaca menyelami perjalanan panjang Homo sapiens dari makhluk primitif hingga menjadi penguasa planet ini. Dalam buku ini, Harari membagi sejarah umat manusia menjadi tiga fase penting: Revolusi Kognitif, Revolusi Pertanian, dan Revolusi Sains. Dengan gaya penulisan yang mudah dipahami namun tetap sarat informasi, Sapiens membongkar fakta-fakta mengejutkan mengenai asal-usul budaya, agama, ekonomi, serta kebahagiaan manusia. Buku ini tidak hanya menjelaskan bagaimana manusia bisa mendominasi bumi, tetapi juga mempertanyakan arah masa depan spesies ini. Sebuah bacaan penting bagi siapa saja yang ingin memahami evolusi peradaban manusia secara utuh.
9. Ronggeng Dukuh Paruk – Ahmad Tohari
Dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk, Ahmad Tohari kembali menghadirkan kisah masyarakat desa dengan latar sejarah dan budaya yang kuat. Buku ini mengisahkan kehidupan Srintil, seorang gadis yang dipercaya menjadi ronggeng, penari sakral di desa Dukuh Paruk yang terpencil. Kemunculan Srintil sebagai ronggeng membawa perubahan besar dalam kehidupan desa yang sebelumnya terpuruk akibat kemiskinan dan kekeringan panjang. Namun, di balik kemeriahan seni tradisional tersebut, tersembunyi nasib pahit dan konsekuensi yang harus ditanggung Srintil dan orang-orang di sekitarnya. Novel ini bukan sekadar cerita budaya, tetapi juga kritik sosial terhadap patriarki, kemiskinan, dan manipulasi politik.
10. Tetralogi Buru – Pramoedya Ananta Toer
Tetralogi Pulau Buru adalah rangkaian karya epik yang sangat monumental dari sastrawan legendaris Indonesia, Pramoedya Ananta Toer. Terdiri dari empat novel yakni Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca, tetralogi ini merekam perjalanan hidup tokoh Minke, seorang pribumi terpelajar yang mencoba menentang ketidakadilan kolonial. Pramoedya tidak hanya menciptakan kisah fiksi, tetapi juga merekonstruksi sejarah dan perlawanan bangsa Indonesia dengan sangat kuat. Tulisan ini sempat dilarang beredar oleh rezim Orde Baru karena muatan politiknya yang kritis. Namun kini, karya ini dianggap sebagai mahakarya yang wajib dibaca oleh siapa pun yang ingin memahami perjuangan dan jatidiri bangsa Indonesia.