Bubur Suro adalah Warisan Kuliner Jawa, Simak Sejarah dan Resep Asli Tradisionalnya

6 hours ago 1

Tradisi menyajikan bubur Suro dalam masyarakat Jawa memiliki akar sejarah yang kuat dan panjang, bahkan diyakini telah ada sejak masa pemerintahan Sultan Agung dari Mataram. Sebagai bagian dari rangkaian upacara adat Jawa, hidangan ini tidak hanya diperlakukan sebagai santapan semata, melainkan sebagai representasi rasa syukur mendalam kepada Tuhan atas limpahan nikmat, keselamatan, serta kelancaran rezeki yang telah diberikan sepanjang tahun. Bubur Suro menjadi simbol perenungan serta doa dalam menyambut datangnya tahun baru berdasarkan penanggalan Jawa, yakni pada malam satu Suro.

Penting untuk digarisbawahi bahwa bubur Suro bukanlah bentuk persembahan yang berkaitan dengan kepercayaan animisme, atau praktik spiritual kuno yang bersifat menyembah benda. Hidangan ini lebih tepatnya dianggap sebagai simbol budaya yang sarat makna, bukan sesajen dalam arti ritual pemujaan. Dalam konteks budaya Jawa, bubur ini dikategorikan sebagai bagian dari uba rampe, atau perangkat pendukung acara adat yang memiliki fungsi sebagai media untuk menyampaikan harapan, doa, dan refleksi spiritual menyambut pergantian tahun. Oleh karena itu, bubur Suro perlu dimaknai melalui kacamata kultural dan simbolis, bukan secara harfiah sebagai sarana pemujaan.

Tradisi Kuliner dan Penyajian Bubur Suro

Secara umum, bubur Suro dibuat dari beras yang dimasak dengan beragam rempah-rempah dan bumbu khas Nusantara. Proses memasaknya melibatkan bahan-bahan tradisional seperti santan kental, daun salam, dan serai, yang memberikan cita rasa gurih dan aroma harum khas, berbeda jauh dari bubur nasi biasa. Dalam berbagai daerah di Jawa, tampilan dan pelengkap bubur Suro dapat bervariasi, tergantung dari warisan budaya lokal masing-masing wilayah. Ada yang menyajikannya dengan sentuhan minimalis, namun tidak sedikit pula yang memperkaya isinya dengan aneka lauk tradisional khas daerah tersebut.

Hal unik dari bubur Suro terletak pada syarat keberadaan tujuh jenis kacang di dalam satu porsi sajian. Jumlah ini tidak sembarangan, melainkan memiliki makna simbolis yang mewakili harapan agar kehidupan manusia di setiap hari dalam seminggu selalu diberi kelancaran, perlindungan, dan keberkahan. Selain kacang-kacangan, bubur Suro biasanya juga dihias dengan taburan buah delima dan suwiran jeruk Bali yang memberikan sentuhan rasa asam segar dan seimbang. Kombinasi rasa gurih dan asam ini menjadikan bubur Suro tak hanya nikmat disantap, tapi juga menyimpan makna filosofi keseimbangan hidup antara rasa syukur dan harapan, antara kelezatan duniawi dan pencarian makna spiritual.

Masyarakat Jawa meyakini bahwa menyantap bubur Suro bukan hanya aktivitas kuliner biasa, tetapi juga bentuk introspeksi dan penyelarasan batin di awal tahun baru Jawa. Hidangan ini menjadi medium untuk mendoakan diri dan keluarga agar diberi ketenangan, keselamatan, serta rezeki yang berlimpah dalam perjalanan hidup ke depan. Bubur ini bukanlah tujuan akhir, melainkan perantara untuk meresapi nilai-nilai kehidupan yang lebih dalam: kebersamaan, pengharapan dan penghormatan terhadap waktu dan siklus kehidupan.

Read Entire Article
Hasil Tangan | Tenaga Kerja | Perikanan | Berita Kumba|