Liputan6.com, Jakarta Setiap orang pasti pernah melihat troli belanja atau keranjang belanjaan yang dibiarkan berserakan di tempat parkir supermarket. Fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga menjadi perhatian di berbagai negara, terutama di Amerika Serikat dalam beberapa tahun terakhir. Momen sederhana ini ternyata menjadi bahan perdebatan serius tentang moralitas dan kepribadian.
Sebuah teori bernama Teori Troli Belanja sempat jadi sorotan. Teori ini menyebut bahwa tindakan seseorang dalam memperlakukan troli belanja bisa menunjukkan apakah mereka adalah warga masyarakat yang baik atau tidak. Banyak yang menyebutnya sebagai "ujian moral tanpa konsekuensi".
Diskusi tentang teori ini muncul tidak hanya dari netizen, tapi juga menarik perhatian para ilmuwan. Psikolog klinis Jay Serle dan perawat psikiater Shebna Osanmoh I turut memberikan pandangan mereka tentang makna di balik perilaku ini.
Bahkan studi ilmiah dari jurnal Science tahun 2008 pun ikut membuktikan bahwa troli belanja yang berserakan bisa menular dan memengaruhi perilaku sosial secara luas. Berikut selengkapnya tipe karakter seseorang dari cara pakai troli belanja dirangkum Liputan6.com dari Pop Sugar, Rabu (23/4/2025).
Belanja online dengan fasilitas paylater kian populer. Tapi kalau tak bijak, penggunanya bisa terjerat dalam utang tak berkesudahan. Simak pendapat perencana keuangan, Safir Senduk, tentang tiga Akesalahan yang harus dihindari ketika menggunakan payl...
Mengembalikan Troli: Tanda Pengendalian Diri dan Tanggung Jawab
Kebiasaan sederhana mengembalikan troli belanja sering dianggap sebagai bentuk kedewasaan sosial. Jay Serle mengatakan, “Mengembalikan troli belanja dipandang sebagai sesuatu yang memperbaiki masyarakat.” Tindakan ini menggambarkan seseorang yang mampu mengatur dirinya sendiri, bahkan tanpa ada yang memerintah.
Psikologi menyebut perilaku ini bagian dari norma injungtif, yaitu kecenderungan untuk berperilaku berdasarkan persepsi sosial. Orang yang memikirkan pandangan orang lain cenderung tidak ingin meninggalkan troli sembarangan. Mereka ingin dianggap sebagai warga yang bertanggung jawab.
Perilaku ini bisa menjadi indikator awal tentang sikap seseorang terhadap aturan sosial. Meskipun bukan ukuran mutlak, pengendalian diri dalam hal kecil mencerminkan kebiasaan disiplin dalam hal besar. Orang yang konsisten mengembalikan troli biasanya juga konsisten dalam hal lainnya.
Meninggalkan Troli: Bukti Ketidakpedulian atau Sekadar Situasional?
Tidak semua orang yang meninggalkan troli belanja bisa langsung dianggap tidak peduli. Dr. Serle mengingatkan, “Seseorang mungkin tidak mengembalikan troli belanjaannya karena disabilitas.” Ada banyak faktor yang bisa jadi alasan, termasuk kelelahan atau keadaan darurat.
Menilai seseorang hanya dari satu perilaku bisa menyesatkan. “Teorinya cukup diskriminatif,” tambahnya. Orang tua yang membawa anak kecil pun seringkali tak punya pilihan lain selain langsung masuk ke mobil.
Namun, kebiasaan ini tetap menunjukkan kecenderungan terhadap norma deskriptif. Artinya, seseorang cenderung meniru apa yang dilakukan orang lain di sekitarnya. Ketika melihat troli berserakan, banyak orang merasa tak perlu repot untuk berbuat lebih baik.
Efek Domino: Troli yang Berserakan Bisa Picu Kekacauan Lain
Studi dalam jurnal Science membuktikan bahwa perilaku buruk bisa menular. Dalam eksperimen tersebut, 58% orang yang melihat troli berserakan membuang selebaran ke tanah. Sebaliknya, hanya 30% yang melakukan hal serupa saat area parkir tertata rapi.
Ini menunjukkan bahwa troli belanja bukan hanya tentang kebiasaan individu, tapi juga lingkungan sosial. Ketika orang lain tidak peduli, kemungkinan besar kita juga menjadi abai. Norma deskriptif bekerja secara diam-diam memengaruhi keputusan tanpa kita sadari.
Tindakan satu orang bisa menciptakan efek berantai. Kekacauan kecil di parkiran bisa menjadi sinyal bahwa tidak ada yang peduli, dan itu membuka jalan bagi lebih banyak kekacauan. Teori ini menegaskan pentingnya keteladanan dalam ruang publik.
Perspektif Psikologis: Troli Belanja sebagai Cermin Empati dan Integritas
Shebna Osanmoh I mengatakan, “Tindakan sederhana seperti itu diyakini akan menyiratkan tanggung jawab seseorang, rasa hormat terhadap orang lain, dan karakter secara umum.” Cara seseorang memperlakukan benda publik bisa menunjukkan empati dan kesadarannya terhadap lingkungan sekitar. Ini adalah bagian dari karakter yang tidak bisa dipalsukan.
Meskipun begitu, Osanmoh I juga memperingatkan agar kita tidak menyederhanakan penilaian karakter hanya dari satu tindakan. “Menilai karakter seseorang, yang sering kali hanya berdasarkan satu hal yang dilakukannya, lebih bergantung pada selera pribadi daripada ukuran yang valid,” jelasnya. Kita perlu melihat pola perilaku secara menyeluruh.
Faktor seperti integritas dan akuntabilitas tidak bisa direduksi menjadi sekadar urusan troli belanja. Namun, ini bisa menjadi salah satu indikator kecil dari nilai-nilai besar yang dianut seseorang. Di sinilah pentingnya membedakan antara kebiasaan dan karakter.