Jejak Jenang Suro yang Sarat Doa dan Tolak Bala, dari Bahtera Nabi Nuh ke Lidah Orang Jawa

10 hours ago 9

Liputan6.com, Jakarta Awal bulan Muharram bukan hanya menandai datangnya tahun baru Islam, tetapi juga menjadi momen sakral bagi masyarakat Jawa untuk melestarikan tradisi warisan leluhur. Salah satunya adalah pembuatan Jenang Suro atau bubur Suro, sebuah sajian penuh makna yang tak sekadar menu kuliner biasa. Di balik rasanya yang khas, terdapat filosofi dalam, bahkan terkait dengan kisah nabi.

Tradisi ini dilakukan secara turun-temurun dan mengakar kuat dalam kehidupan masyarakat, salah satunya di wilayah Desa Bumiaji, Kota Batu, Jawa Timur. Pada setiap tanggal 10 Muharram atau 10 Suro dalam kalender Jawa, warga berkumpul dalam sebuah acara selamatan dengan ritual memasak bubur ini secara bersama-sama. Acara ini dikenal sebagai “Mbubur Sengkolo Umbul Dungo” yang berarti mendoakan keselamatan dan membuang bala.

Menariknya, Jenang Suro bukan hanya lahir dari budaya lokal, melainkan juga punya jejak sejarah yang diyakini bersumber dari praktik yang dilakukan oleh Nabi Nuh. Sebuah percampuran antara nilai keislaman, lokalitas, dan sejarah menjadikan bubur ini bukan sekadar makanan, tapi simbol spiritual masyarakat Muslim Nusantara. Berikut ulasan selengkapnya yang telah Liputan6.com rangkum dari situs RRI, jatim.nu.or.id dan sumber lainnya. 

Jejak Nabi Nuh dalam Semangkuk Bubur

Tradisi Jenang Suro tak bisa dilepaskan dari kisah populer yang diyakini sebagian umat Muslim, yaitu peristiwa yang terjadi pasca banjir besar zaman Nabi Nuh. Setelah kapal Nabi Nuh mendarat di Gunung Judi pada tanggal 10 Muharram, para penumpang merasa lapar dan kehabisan perbekalan. Maka mereka mengumpulkan sisa-sisa makanan berupa tujuh jenis biji-bijian yang mereka miliki.

Dalam kitab I’anatuth Thalibin dan Badai’ az-Zuhur, dijelaskan bahwa biji-bijian tersebut dimasak menjadi satu hingga menjadi bubur. Nabi Nuh kemudian membacakan basmalah dan menyajikannya kepada semua penumpang. 

Biji-bijian yang digunakan antara lain adalah beras putih, beras merah, kacang hijau, jagung, dan jenis legum lain. Sejak itulah, pada hari Asyura atau 10 Muharram, umat Muslim mulai membuat bubur sebagai bentuk rasa syukur atas keselamatan dan keberkahan. Tradisi ini kemudian diadopsi oleh masyarakat Jawa menjadi bentuk budaya lokal bernama Jenang Suro.

Pelaksanaan di Indonesia: Simbol Tolak Bala dan Syukur

Di Desa Bumiaji, Kota Batu, tradisi Jenang Suro dilaksanakan secara komunal dengan antusiasme tinggi setiap malam 10 Suro. Acara bertajuk Mbubur Sengkolo Umbul Dungo ini bukan hanya sekadar upacara makan bersama, tetapi juga mengandung makna spiritual dan kebersamaan. Warga, pejabat desa, hingga aparat keamanan berkumpul untuk merayakan momen ini. 

Prosesi dimulai dengan sambutan dari ketua panitia dan kepala desa, dilanjutkan dengan pemukulan gong sebagai tanda dimulainya ritual membuat bubur. Setelah itu, warga bersama-sama memasak Jenang Suro, sebuah simbol kerukunan dan gotong royong yang masih terjaga. Dalam tradisi ini, kebersamaan bukan hanya soal fisik, tapi juga spiritual.

Selain di Kota Batu, tradisi memasak bubur suro juga digelar di sejumlah daerah mulai dari Yogyakarta, Solo, Semarang, Palembang, Madura, Tuban, hingga Lumajang. Setiap daerah mengemas tradisi Bubur Suro menjadi acara yang sesuai dengan lokalitas masing-masing.

Makna Filosofis: Setiap Sendok Adalah Doa

Masyarakat Jawa memaknai Jenang Suro sebagai simbol perjalanan spiritual dan pengharapan. Bubur ini dipercaya bisa menjadi perantara doa kepada Tuhan agar dijauhkan dari segala bentuk mara bahaya. Itulah mengapa acara ini juga disebut sebagai sengkolo, yang berarti kesialan atau bala.

Pembuatan bubur dilakukan dengan membaca doa-doa tertentu dan niat yang baik. Dalam praktiknya, setiap unsur bahan makanan yang digunakan pun dianggap memiliki makna tersendiri. Kacang hijau sebagai lambang kesuburan, beras merah melambangkan keberanian, dan serundeng kelapa sebagai pelindung.

Bukan hanya itu, pembagian Jenang Suro kepada tetangga dan kaum dhuafa menjadi bagian penting dalam ritual. Ini mencerminkan nilai-nilai gotong royong dan kepedulian sosial yang menjadi pondasi budaya Jawa-Islam.

Pelestarian Budaya 

Pelestarian tradisi Jenang Suro kini dihadapkan dengan tantangan modernisasi yang terus mengikis budaya lokal. Meski demikian, banyak warga khsusunya di Pulau Jawa tetap menunjukkan bahwa semangat menjaga budaya masih sangat kuat. Mereka tidak hanya mengadakan acara ini sebagai rutinitas, tetapi juga sebagai ajang edukasi budaya bagi generasi muda.

Pemerintah daerah pun banyak yang memberi dukungan penuh terhadap penyelenggaraan acara ini sebagai bagian dari agenda wisata budaya. Keterlibatan berbagai pihak dalam pelaksanaan tradisi Jenang Suro menunjukkan bahwa pelestarian tradisi merupakan tanggung jawab bersama. 

Pertanyaan Seputar Topik

Apa itu Jenang Suro?

Jenang Suro adalah bubur khas yang disajikan pada 10 Muharram sebagai bagian dari tradisi tolak bala dan syukur dalam budaya Jawa yang terinspirasi dari kisah Nabi Nuh.

Mengapa Jenang Suro dibuat dengan tujuh bahan?

Angka tujuh dalam budaya Jawa melambangkan kesempurnaan dan keselamatan. Tujuh bahan ini berasal dari tradisi Nabi Nuh yang menggabungkan sisa biji-bijian setelah turun dari kapal.

Apa makna dari acara Mbubur Sengkolo?

Mbubur Sengkolo berarti ritual tolak bala dan doa keselamatan. Acara ini mengandung makna spiritual untuk menyambut tahun baru Islam dengan keberkahan.

Apakah tradisi ini hanya ada di Jawa?

Meskipun populer di Jawa, tradisi serupa dengan konsep berbeda juga dijumpai di beberapa komunitas Muslim Nusantara lain, sebagai bentuk rasa syukur pada 10 Muharram.

Read Entire Article
Hasil Tangan | Tenaga Kerja | Perikanan | Berita Kumba|