Liputan6.com, Jakarta Dalam hukum Islam, setiap perbuatan memiliki nilai hukum tersendiri, mulai dari wajib, sunnah, mubah, makruh, hingga haram. Dari kelima hukum ini, makruh adalah salah satu yang sering dipahami secara keliru. Makruh berarti perbuatan yang tidak berdosa jika dilakukan, namun lebih baik ditinggalkan karena mengandung unsur yang tidak disukai oleh syariat. Meskipun tidak seberat larangan haram, Islam tetap menganjurkan agar umatnya menjauhi perbuatan makruh demi menjaga kesucian diri dan kesempurnaan ibadah.
Dalam buku Fikih Islam Lengkap (2014) karya Drs. H. Moh. Rifai, dijelaskan bahwa makruh merupakan perkara yang tidak disukai oleh Allah, tetapi tidak sampai pada tingkatan haram. Orang yang meninggalkannya mendapat pahala, namun yang melakukannya tidak berdosa. Pernyataan ini menunjukkan bahwa hukum makruh bersifat edukatif, yakni mendorong manusia untuk lebih berhati-hati dan selektif dalam bersikap, meskipun tidak semua perbuatan masuk dalam kategori haram.
Sementara itu, menurut KH. Ali Mustafa Yaqub dalam bukunya Kuliah Hadis, menjelaskan bahwa ulama membagi makruh menjadi dua: makruh tanzih (hampir mendekati mubah) dan makruh tahrim (mendekati haram). Dengan demikian, memahami bahwa makruh adalah bagian dari sistem hukum Islam yang bertingkat membantu kita untuk lebih bijak dalam menjalani ibadah maupun kehidupan sehari-hari.
Berikut ini Liputan6.com ulas selengkapnya, Rabu (2/7/2025).
Berikut hukum menikahi saudara sepupu menurut Islam.
Makruh Adalah
Makruh adalah perbuatan yang tidak disukai atau tidak dianjurkan oleh syariat, tetapi tidak sampai pada taraf diharamkan. Dalam istilah fikih, makruh adalah sesuatu yang apabila ditinggalkan akan mendapat pahala, namun jika dikerjakan tidak mendapatkan dosa. Dengan kata lain, makruh merupakan bentuk peringatan lembut dari syariat agar umat Islam menjauhi perbuatan yang bisa mengurangi nilai ibadah atau menjerumuskan ke dalam kemungkaran. Dalam konteks pendidikan rohani, makruh menjadi batas antara sikap kehati-hatian dan kelalaian.
Dalam buku Fikih Islam Lengkap karya Drs. H. Moh. Rifai, dijelaskan bahwa makruh merupakan perkara yang tidak disukai oleh Allah, tetapi tidak sampai pada tingkatan haram. Orang yang meninggalkannya mendapat pahala, namun yang melakukannya tidak berdosa. Pernyataan ini menunjukkan bahwa hukum makruh bersifat mendidik. Islam memberikan ruang bagi umatnya untuk berpikir dan memilih yang terbaik dalam setiap tindakan, sekaligus mendorong mereka untuk meninggalkan perbuatan yang kurang baik. Konsep ini menunjukkan keseimbangan Islam dalam membentuk karakter umatnya, tidak serta merta mengharamkan, tetapi membimbing ke arah yang lebih baik.
Jenis-Jenis Makruh
Dalam buku Ilmu Ushul Fikih (2021) karya Noor Harisudin, para ulama membagi makruh menjadi dua jenis, yaitu:
1. Makruh Tanzih
Makruh tanzih adalah perbuatan yang hukumnya makruh ringan dan lebih dekat kepada mubah. Artinya, perbuatan ini tidak disukai oleh syariat tetapi jika dilakukan tidak berdosa sama sekali. Contohnya adalah berpuasa pada hari Jumat tanpa diiringi puasa pada hari sebelumnya atau setelahnya. Dalam praktiknya, makruh tanzih seringkali dijumpai dalam kebiasaan ibadah yang dilakukan tanpa mempertimbangkan tuntunan Nabi secara utuh.
2. Makruh Tahrim
Makruh tahrim adalah perbuatan yang lebih dekat kepada haram, tetapi larangannya tidak sampai pada tingkat yang tegas. Menurut mazhab Hanafi, makruh tahrim adalah perbuatan yang dilarang berdasarkan dalil zhanni (dalil yang tidak qath’I atau kesimpulannya tidak mutlak). Misalnya, menikahi perempuan yang sedang dalam masa iddah. Dalam konteks ini, perbuatan tersebut sangat dianjurkan untuk dihindari karena mendekati larangan yang berat.
Pembagian ini penting karena membantu umat Islam memahami kadar keseriusan suatu larangan dalam agama. Dengan demikian, seseorang bisa lebih berhati-hati dalam memilih sikap dan tindakan. Selain itu, pengetahuan tentang jenis-jenis makruh juga menumbuhkan kepekaan dalam beragama, yakni tidak hanya menjauhi yang haram, tetapi juga hal-hal yang meragukan atau dibenci oleh syariat.
Contoh Perbuatan Makruh dalam Islam
Berikut beberapa contoh perbuatan yang termasuk dalam kategori makruh:
- Meniup makanan atau minuman panas. Dalam hadis riwayat Ahmad dan Tirmidzi, Nabi SAW melarang umatnya meniup makanan karena alasan kebersihan dan adab. Tindakan ini dianggap makruh karena menunjukkan sikap tergesa-gesa dalam menyikapi nikmat yang diberikan Allah.
- Shalat dalam keadaan menahan buang air kecil atau besar. Hal ini tidak membatalkan shalat tetapi bisa mengurangi kekhusyukan dan pahala. Dalam hadis, Rasulullah SAW menyebutkan bahwa shalat dalam keadaan demikian tidak diterima secara sempurna.
- Berpuasa hanya pada hari Jumat tanpa mengiringinya dengan Kamis atau Sabtu. Perbuatan ini dianggap makruh karena Rasulullah SAW tidak menyukai pengkhususan hari tertentu tanpa sebab. Meski puasa adalah amal baik, jika dilakukan tidak sesuai sunnah bisa masuk dalam kategori makruh.
- Menggunakan pakaian yang mencolok atau berlebihan dalam beribadah. Meskipun tidak haram, hal ini dinilai bisa mengganggu kekhusyukan dan niat dalam ibadah. Islam mengajarkan kesederhanaan dalam berpenampilan, terlebih dalam ibadah.
- Tidur setelah subuh hingga terbit matahari. Ulama banyak yang menganggap ini makruh karena menyia-nyiakan waktu yang penuh berkah. Waktu pagi adalah saat doa dikabulkan, rezeki diturunkan, dan pikiran masih segar untuk beribadah atau bekerja.
Perlu dicatat bahwa hukum makruh bisa berubah tergantung situasi, niat, dan konteksnya. Dalam kondisi tertentu, perbuatan makruh bisa mendekati haram atau justru menjadi mubah jika ada alasan syar’i. Oleh karena itu, pemahaman terhadap hukum makruh tidak boleh kaku, melainkan perlu disertai kejelian dalam melihat konteks kehidupan.
Manfaat Menghindari Perbuatan Makruh
Meskipun tidak berdosa jika dilakukan, menghindari perbuatan makruh memiliki sejumlah keutamaan:
- Meningkatkan kualitas ibadah. Dengan menjauhi yang makruh, ibadah menjadi lebih bersih dari hal-hal yang bisa menguranginya.
- Mendapat pahala. Orang yang meninggalkan perbuatan makruh dengan niat taat kepada Allah akan diberi pahala. Ini adalah bentuk penghambaan yang ikhlas.
- Mendekatkan diri pada sikap wara’ (hati-hati dalam agama). Sikap wara’ merupakan ciri dari orang-orang bertakwa yang tidak hanya menghindari yang haram, tetapi juga hal-hal yang meragukan.
- Menjaga kehormatan diri. Banyak perbuatan makruh berkaitan dengan adab, etika, dan kebersihan, sehingga menjauhinya menunjukkan pribadi yang luhur.
- Melatih kepekaan ruhani. Dengan membiasakan diri meninggalkan perbuatan makruh, seseorang akan lebih peka terhadap nilai-nilai syariat dan lebih cermat dalam menjaga kualitas amalnya.
QnA Seputar Hukum Makruh
Q: Apakah makruh itu sama dengan boleh (mubah)?
A: Tidak. Mubah adalah perbuatan yang tidak berpahala dan tidak berdosa baik dilakukan maupun ditinggalkan. Sedangkan makruh adalah perbuatan yang dianjurkan untuk ditinggalkan, dan meninggalkannya mendapatkan pahala.
Q: Apakah melakukan makruh bisa menjadi dosa?
A: Tidak secara langsung. Namun jika dilakukan terus-menerus, dengan sikap meremehkan, atau dalam kondisi yang melanggar etika, bisa mendekati dosa. Khusus untuk makruh tahrim, beberapa ulama bahkan menganggapnya berdosa.
Q: Apa bedanya makruh tanzih dan makruh tahrim?
A: Makruh tanzih adalah larangan ringan yang lebih dekat kepada mubah. Makruh tahrim adalah larangan yang mendekati haram tetapi berdasarkan dalil tidak mutlak. Perbedaan ini penting agar kita tidak menyamaratakan seluruh jenis makruh dalam praktik sehari-hari.
Q: Apakah makruh berlaku dalam semua aspek ibadah dan kehidupan?
A: Ya. Hukum makruh dapat berlaku dalam ibadah (seperti shalat), muamalah (seperti jual beli), hingga adab harian (seperti makan dan minum). Ini menunjukkan bahwa Islam sangat detail dalam membimbing umatnya menuju kebaikan.
Q: Bagaimana cara mengetahui suatu perbuatan itu makruh atau tidak?
A: Rujuklah pada kitab fikih, fatwa ulama, dan hadis Nabi. Jika perbuatan tersebut tidak dianjurkan atau disebut dibenci oleh syariat tanpa ancaman dosa, kemungkinan besar hukumnya makruh. Dalam kondisi tertentu, konsultasi dengan ustadz atau guru agama juga sangat membantu.