Liputan6.com, Jakarta Sunan Muria adalah salah satu Wali Songo yang berperan besar dalam penyebaran Islam di wilayah Jawa Tengah, khususnya di lereng Gunung Muria. Ia dikenal karena pendekatan dakwahnya yang lembut dan mengakar pada budaya lokal.
Melalui kesenian, pertanian, dan tradisi masyarakat, Sunan Muria berhasil menyampaikan ajaran Islam tanpa menimbulkan penolakan. Cara ini membuat dakwahnya mudah diterima oleh berbagai kalangan.
Hingga kini, nama Sunan Muria masih dikenang luas. Makamnya menjadi tempat ziarah yang ramai dikunjungi, sebagai bentuk penghormatan terhadap jasanya dalam menyebarkan Islam secara damai dan bijaksana.
Berikut Liputan6.com merangkum dari berbagai sumber tentang Sunan Muria, Kamis (3/7/2025).
Warga Jepara tengah dihebohkan dengan kemunculan sebuah buah jeruk yang memiliki gambar Walisongo di dalamnya. Fenomena itu pertama kali ditemukan oleh Khamim yang baru saja memetik jeruk tersebut dari kebunnya.
Biografi Sunan Muria
Sunan Muria, yang memiliki nama asli Raden Umar Said, merupakan salah satu tokoh sentral dalam penyebaran Islam di tanah Jawa, khususnya di wilayah pesisir utara Jawa Tengah. Sebagai anggota Wali Songo, beliau dikenal karena gaya dakwahnya yang khas dan sangat membumi. Berbeda dengan beberapa wali lain yang berdakwah di pusat-pusat kota, Sunan Muria memilih daerah terpencil dan pedesaan di sekitar Gunung Muria sebagai lokasi utama perjuangannya. Nama “Sunan Muria” pun diambil dari nama gunung tersebut, menandakan kedekatannya dengan alam dan masyarakat setempat.
Raden Umar Said adalah putra dari Sunan Kalijaga, Wali Songo yang terkenal dengan metode dakwah yang inklusif dan penuh toleransi, serta cucu dari Syekh Maulana Ishaq melalui ibunya, Dewi Saroh. Latar belakang keluarganya yang sarat dengan nilai keislaman dan kebijaksanaan menjadikan Sunan Muria sosok yang kaya wawasan dan bijak dalam menghadapi masyarakat multikultural. Beliau dikenal akrab dengan rakyat kecil, membantu mereka melalui pendidikan, penyuluhan pertanian, dan penyebaran ilmu keislaman yang mudah dipahami.
Wafatnya Sunan Muria pada sekitar tahun 1551 Masehi tidak menghentikan pengaruhnya. Ia dimakamkan di lereng Gunung Muria, tepatnya di Desa Colo, Kudus, yang hingga hari ini menjadi salah satu lokasi ziarah paling ramai di Pulau Jawa.
Ribuan peziarah datang setiap tahun, tak hanya untuk mendoakan, tetapi juga untuk mengenang keteladanan dan jasa beliau dalam menyebarkan Islam secara damai dan menyatu dengan nilai-nilai lokal. Dakwah Sunan Muria bukan sekadar pengajaran agama, melainkan sebuah gerakan sosial yang membentuk masyarakat religius, inklusif, dan harmonis.
Dakwah Budaya Sunan Muria
Salah satu ciri khas dakwah Sunan Muria adalah pendekatannya yang sangat kultural dan membumi. Ia tidak menggunakan cara-cara yang konfrontatif atau menolak budaya setempat secara langsung. Sebaliknya, beliau justru merangkul tradisi lokal dan menjadikannya sebagai media efektif untuk menyampaikan nilai-nilai Islam.
Berbagai kesenian tradisional Jawa, seperti gamelan dan wayang kulit, digunakan oleh Sunan Muria sebagai alat untuk menarik perhatian masyarakat sekaligus menyisipkan pesan moral dan spiritual dalam pertunjukan tersebut.
Tak hanya itu, Sunan Muria juga dikenal sebagai pencipta dan pengembang tembang-tembang macapat, seperti Sinom dan Kinanthi, yang berisi ajaran Islam tentang akhlak, tauhid, dan etika sosial. Melalui tembang ini, nilai-nilai keislaman dapat dengan mudah diterima dan diresapi oleh masyarakat yang kala itu sangat dekat dengan seni tutur dan lagu tradisional.
Beliau melakukan proses akulturasi budaya, yaitu dengan menyesuaikan tradisi Jawa lama agar selaras dengan ajaran Islam, tanpa harus menghapus atau melarang praktik yang sudah mendarah daging dalam masyarakat. Salah satu contoh nyata adalah modifikasi tradisi sesajen, di mana maknanya diarahkan ke bentuk syukur kepada Allah, bukan kepada roh halus atau makhluk gaib.
Pendekatan dakwah berbasis budaya yang dilakukan oleh Sunan Muria terbukti sangat efektif dalam menyentuh hati masyarakat. Beliau tidak menghakimi atau memusuhi budaya lokal, melainkan memahaminya sebagai aset dakwah.
Dengan menjadikan budaya sebagai jembatan, ajaran Islam dapat diterima dengan lebih mudah, tanpa konflik atau penolakan. Metode ini menunjukkan kebijaksanaan dan kelembutan Sunan Muria dalam menyebarkan agama, sekaligus menjadi warisan berharga dalam sejarah Islam di Nusantara.
Kehidupan Sunan Muria
Selain dikenal sebagai pendakwah yang bijaksana, Sunan Muria juga dikenal memiliki kesaktian luar biasa dalam hal pertahanan diri dan pertarungan. Berbagai kisah tentang kehebatannya dalam menghadapi musuh maupun melindungi masyarakat masih hidup dalam tradisi lisan masyarakat sekitar Gunung Muria hingga kini.
Mengutip buku berjudul Sejarah Wali Songo (2019) oleh Zulham Farobi dijelaskan Sunan Muria oleh masyarakat sekitar dikenal sebagai seorang wali yang sakti. Sunan Muria juga memiliki tubuh yang kuat. Hal itu dikarenakan letak tempat tinggalnya yang berada di atas gunung.
Sunan Muria beserta murid-muridnya perlu naik-turun gunung setiap hari ketika Sunan Muria harus menyebarkan Islam di daerah pesisir. Sunan Muria juga harus naik-turun gunung untuk untuk menyebarkan agama Islam kepada penduduk setempat, atau berdakwah kepada para nelayan dan pelaut, serta para pedagang. Sunan Muria adalah tokoh agama yang benar-benar mengabdikan dirinya pada ajaran Islam.
Dalam kehidupan pribadinya, Sunan Muria tercatat menikah dengan dua perempuan bangsawan, yaitu Dewi Sujinah, adik dari Sunan Kudus, dan Dewi Roroyono, putri dari Ki Ageng Ngerang. Pernikahan dengan Dewi Sujinah mempererat hubungan dan kerja sama dakwah antar anggota Wali Songo, yang memang dikenal saling bersinergi dalam menyebarkan Islam di Nusantara. Sementara itu, pernikahannya dengan Dewi Roroyono memperkuat ikatan emosional dan sosial antara Sunan Muria dengan masyarakat lokal, sehingga memudahkan jalannya dakwah di kalangan masyarakat pedesaan.
Dalam perjalanannya mencari ilmu, Sunan Muria berguru kepada beberapa tokoh penting di zamannya, termasuk Ki Ageng Ngerang, Sunan Kudus, dan Adipati Pathak. Dari mereka, ia tidak hanya mendalami ilmu agama, tetapi juga mempelajari strategi dakwah, filsafat hidup, serta berbagai keterampilan praktis yang dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari.
Pengertian Walisongo
Mengutip kajian yang dipublikasikan di Wahana Akademika Vol. 1 No. 2, Oktober 2014 dijelaskan Walisanga atau walisongo yang disebutkan dalam sumber babad sebagai penyebar agama Islam, cukup menarik jika dilihat peranannya sebagai penyebar agama atau sebagai cultural heroi menurut teori Geertz, terutama jika dilihat dari konteks proses akulturasi.
Disatu pihak terdapat tradisi kraton Hindu Budha dengan yang sedang tumbuh, yaitu tradisi kelompok pedagang dan petani telah menyerap unsur-unsur Islam. Pendukung kebudayaan yang baru itu adalah golongan menengah, seperti pedagang, Kyai, guru, dan Tarekat.
Melansir buku berjudul Kamus Indonesia Kawi (1991) oleh YB. Suparlan sebagaimana dikutip dari kajian yang sama, kata walisongo, kata yang mirip diperhitungkan yaitu Walisana. Kata Walisongo terdiri atas dua kata Wali dan Songo. Disini adanya perpaduan dua kata yang berasal dari pengaruh budaya yang berbeda. Wali berasal dari bahasa Arab (pengaruh Al-Qur’an) dan songo.
Disini kita melihat adanya perpaduan dua kata yang berasal dari pengaruh budaya Jawa. Jadi dari segi kata Walisongo merupakan interelasi dari pengaruh dua kebudayaan. Dalam bahasa Jawa Kawi, Wali adalah walya atau wididyardya. Namun kata ini tidak digunakan.
Menurut Van Den Berg (1959) sebagaimana dikutip dalam kajian yang dipublikasikan di JAVANO-ISLAMICUS, Vol.1, No.2, April 2024, di Jawa, peran Walisongo dianggap sebagai tokoh yang memperkenalkan dasar-dasar Islam.
Karya-karya Walisongo dalam misi penyebaran agama Islam merupakan fakta sejarah yang tak terbantahkan bahwa Islam dipraktikkan di Indonesia secara umum, dan di Pulau Jawa secara khusus. Karena Walisongo bertanggung jawab atas perluasan keyakinan Islam di seluruh Jawa, maka wajar jika H.J. Vanden Berg menyatakan hal ini tanpa keraguan
Q & A Seputar Topik
Siapa sebenarnya Sunan Muria dan apa nama aslinya?
Sunan Muria adalah salah satu dari sembilan wali atau Wali Songo yang berperan besar dalam penyebaran Islam di Jawa. Nama aslinya adalah Raden Umar Said, dan ia merupakan putra dari Sunan Kalijaga serta cucu dari Syekh Maulana Ishaq melalui ibunya, Dewi Saroh.
Di mana Sunan Muria menyebarkan ajaran Islam?
Sunan Muria berdakwah di wilayah lereng Gunung Muria, khususnya di sekitar Desa Colo, Kudus, Jawa Tengah. Ia lebih memilih wilayah pedesaan dan terpencil agar bisa langsung menyentuh kehidupan masyarakat kecil.
Apa metode dakwah khas yang digunakan oleh Sunan Muria?
Metode dakwah Sunan Muria sangat khas karena menggunakan pendekatan budaya lokal. Ia memanfaatkan kesenian Jawa seperti gamelan, wayang kulit, serta tembang macapat untuk menyampaikan ajaran Islam secara halus dan menyentuh hati masyarakat.
Apa isi tembang-tembang macapat yang diajarkan oleh Sunan Muria?
Tembang-tembang seperti Sinom dan Kinanthi yang diajarkan Sunan Muria berisi nilai-nilai keislaman seperti akhlak, kejujuran, kesabaran, dan keimanan. Melalui seni suara ini, ajaran Islam disebarkan secara mudah dipahami oleh masyarakat Jawa kala itu.
Apakah Sunan Muria memiliki pengaruh keluarga dalam dakwahnya?
Ya. Sunan Muria adalah putra Sunan Kalijaga dan menantu Sunan Kudus (melalui pernikahannya dengan Dewi Sujinah). Hubungan keluarga ini menunjukkan adanya jaringan kuat dalam Wali Songo untuk memperkuat penyebaran Islam.
Bagaimana masyarakat mengenang Sunan Muria hingga kini?
Masyarakat mengenang Sunan Muria melalui ziarah ke makamnya di Gunung Muria, yang hingga kini ramai dikunjungi. Beliau dikenang karena dakwahnya yang bijak, damai, dan penuh toleransi terhadap budaya lokal.