Liputan6.com, Jakarta Setiap tahun setelah perayaan Hari Raya Idul Adha, banyak umat Muslim yang bertanya-tanya tentang daging kurban hukumnya boleh dijual atau tidak. Pertanyaan ini muncul karena seringkali setelah pelaksanaan ibadah kurban, jumlah daging yang diterima atau dimiliki cukup banyak. Memahami jual beli daging kurban hukumnya dalam Islam menjadi penting agar ibadah yang telah dilaksanakan tidak menjadi sia-sia.
Dalam ajaran Islam, daging kurban hukumnya memiliki ketentuan yang berbeda antara orang yang berkurban (shohibul kurban) dengan orang yang menerima pembagian daging kurban. Perbedaan hukum ini perlu dipahami dengan baik agar umat Muslim dapat mengambil keputusan yang tepat sesuai syariat.
Pembahasan mengenai hukum jual beli daging kurban ini sangat relevan, terutama ketika masyarakat menerima daging kurban dalam jumlah yang berlebihan. Dengan memahami ketentuan syariat yang benar, umat Muslim dapat memanfaatkan daging kurban dengan cara yang sesuai dengan ajaran Islam tanpa melanggar ketentuan agama.
Berikut penjelasan lengkapnya, yang telah Liputan6.com rangkum pada Selasa (10/6).
Tradisi Muslim di Indonesia berbagi daging qurban kepada yang membutuhkan. Hewan kurban disembelih untuk mendekatkan diri kepada Allah
Hukum Menjual Daging Kurban bagi Shohibul Kurban
Bagi orang yang melaksanakan ibadah kurban (shohibul kurban), menjual daging kurban adalah perbuatan yang dilarang dalam Islam. Larangan ini tidak hanya berlaku untuk daging, tetapi juga untuk seluruh bagian hewan kurban termasuk kulit, tulang, rambut, tanduk, dan bagian lainnya. Ketentuan ini berdasarkan pada prinsip bahwa hewan kurban adalah ibadah yang dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Shohibul kurban juga dilarang untuk memberikan bagian dari hewan kurban sebagai upah kepada tukang jagal. Jika ingin memberikan sesuatu kepada tukang jagal, maka harus diberikan sebagai sedekah, bukan sebagai upah atas jasanya. Hal ini karena memberikan daging kurban sebagai upah memiliki makna yang sama dengan menjualnya.
Apabila shohibul kurban sudah terlanjur menjual bagian dari hewan kurbannya, maka hasil penjualan tersebut harus segera disedekahkan kepada orang-orang yang membutuhkan. Dengan demikian, meskipun perbuatan menjual daging kurban tetap tidak diperbolehkan, namun dosa tersebut dapat ditebus dengan menyedekahkan hasil penjualannya.
أَنَّ النَّبِي صلى الله عليه و سلم أَمَرَهُ أَنْ يَقُوْمَ عَلَى بُدْنِهِ، وَ أَنْ يَفْسِمَ بُدْنَهُ كُلَّهَا حُوْمَهَا وَجُلُوْدَهَا وَجِلَالَهَا، وَ لَا يُعْطِيَ فِي جَزَارَتِهَا شَيْئًا
Artinya: "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan aku untuk mengurusi penyembelihan unta kurbannya. Beliau juga memerintahkan saya untuk membagikan semua kulit tubuh serta kulit punggungnya. Dan saya tidak diperbolehkan memberikan bagian apapun darinya kepada tukang jagal." (HR. Bukhari dan Muslim)
Ancaman bagi yang Menjual Bagian Hewan Kurban
Islam memberikan peringatan keras bagi siapa saja yang menjual bagian dari hewan kurbannya. Menurut hadits yang diriwayatkan oleh Al-Hakim dan Al-Baihaqi, orang yang menjual kulit hewan kurbannya akan kehilangan nilai ibadah kurbannya. Ancaman ini menunjukkan betapa seriusnya larangan menjual bagian hewan kurban dalam pandangan Islam.
Peringatan ini diberikan untuk menjaga kesucian dan keikhlasan ibadah kurban. Kurban adalah bentuk pengorbanan dan kedekatan kepada Allah SWT, sehingga tidak boleh dicampuri dengan motif keuntungan materi. Ketika seseorang menjual bagian dari hewan kurbannya, maka hal tersebut dapat merusak nilai spiritual dari ibadah yang telah dilaksanakan.
Para ulama sepakat bahwa larangan ini berlaku untuk semua bagian hewan kurban, tidak hanya kulit saja. Daging, tulang, tanduk, dan semua bagian lainnya memiliki kedudukan yang sama dalam hal larangan jual beli. Hal ini menunjukkan bahwa Islam sangat menjaga kemurnian niat dalam beribadah, termasuk dalam pelaksanaan ibadah kurban.
مَنْ بَاعَ جِلْدَ أُضْحِيَّتِهِ فَلَا أُضْحِيَّةَ لَهُ
Artinya: "Barang siapa yang menjual kulit hewan kurbannya, maka ibadah kurbannya tidak ada nilainya." (HR. Al-Hakim dan Al-Baihaqi)
Hukum Menjual Daging Kurban bagi Penerima
Berbeda dengan shohibul kurban, orang yang menerima daging kurban dari pembagian memiliki kebebasan untuk menjualnya. Hal ini karena daging tersebut telah menjadi hak milik penuh dari penerima, sehingga ia dapat memanfaatkannya sesuai kebutuhan, termasuk dengan cara menjualnya. Ketentuan ini berlaku baik untuk penerima yang tergolong miskin maupun yang tidak.
Fleksibilitas ini diberikan karena penerima daging kurban tidak memiliki kewajiban yang sama dengan shohibul kurban. Mereka dapat mengolah, mengonsumsi, menjual, atau bahkan menyedekahkan kembali daging yang telah diterimanya. Yang terpenting adalah pemanfaatan daging tersebut dilakukan dengan cara yang baik dan tidak melanggar ketentuan syariat lainnya.
Para ulama juga menegaskan bahwa penerima daging kurban bahkan boleh menjual bagian lain seperti kulit, tulang, atau bagian hewan lainnya jika memang mendapatkannya. Uang hasil penjualan dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari atau keperluan lain yang bermanfaat. Hal ini menunjukkan fleksibilitas Islam dalam memberikan kemudahan kepada umatnya.
إِذَا أُعْطِيَ جِلْدُ الْأُضْحِيَّةِ لِلْفَقِيرِ، أَوْ وَكِيلِهِ فَلَا مَانِعَ مِنْ بَيْعِهِ وَانْتِفَاعِ الْفَقِيرِ بِثَمَنِهِ، وَإِنَّمَا الَّذِي يُمْنَعُ مِنْ بَيْعِهِ هُوَ الْمُضَحِي فَقَطْ
Artinya: "Apabila kulit hewan kurban diberikan kepada orang miskin atau wakilnya, maka tidak masalah bila ia menjualnya dan memanfaatkan hasil penjualan kulit tersebut. Yang terlarang untuk menjual kulit hewan kurban ialah pihak yang berkurban saja." (Fatwa Al-Lajnah ad-Da'imah)
Larangan Membayar Upah Jagal dengan Daging Kurban
Selain tidak boleh menjual daging kurban, shohibul kurban juga dilarang keras untuk membayar upah tukang jagal dengan menggunakan daging atau bagian lain dari hewan kurban. Larangan ini berlaku karena pembayaran upah dengan daging kurban memiliki makna yang sama dengan menjualnya. Jika shohibul kurban ingin memberikan sesuatu kepada tukang jagal, maka harus diberikan sebagai hadiah atau sedekah, bukan sebagai pembayaran jasa.
Ketentuan ini sangat tegas dalam Islam karena menjaga kemurnian ibadah kurban dari unsur-unsur komersial. Kurban adalah bentuk ibadah yang bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, sehingga tidak boleh dicampuri dengan transaksi jual beli dalam bentuk apapun. Para ulama sepakat bahwa memberikan daging kurban sebagai upah sama halnya dengan menjualnya, yang mana keduanya dilarang.
Jika shohibul kurban membutuhkan jasa tukang jagal, maka ia harus membayar upahnya dengan uang atau barang lain yang bukan berasal dari hewan kurban. Dengan demikian, kemurnian ibadah kurban tetap terjaga dan tidak tercampur dengan aktivitas perdagangan. Hal ini menunjukkan betapa Islam sangat memperhatikan aspek spiritual dalam setiap ibadah yang dilaksanakan umatnya.
ـ (ويحرم أيضا جعله أجرة للجزار) لأنه في معنى البيع فإن أعطاه له لا على أنه أجرة بل صدقة لم يحرم وله إهداؤه وجعله سقاء أو خفا أو نحو ذلك كجعله فروة وله إعارته والتصدق به أفضل
Artinya: "(Menjadikan [daging kurban] sebagai upah bagi penjagal juga haram) karena pemberian sebagai upah itu bermakna 'jual'. Jika orang yang berkurban memberikannya kepada penjagal bukan dengan niat sebagai upah, tetapi niat sedekah, maka itu tidak haram. Ia boleh menghadiahkannya dan menjadikannya sebagai wadah air, khuff (sejenis sepatu kulit), atau benda serupa seperti membuat jubah dari kulit, dan ia boleh meminjamkannya. Tetapi menyedekahkannya lebih utama." (Syaikh M Ibrahim Al-Baijuri)
Cara Memanfaatkan Daging Kurban yang Benar
Islam mengajarkan cara yang tepat dalam memanfaatkan daging kurban sesuai dengan tuntunan Al-Quran dan Sunnah. Shohibul kurban dianjurkan untuk membagi daging kurbannya menjadi tiga bagian: sepertiga untuk dikonsumsi sendiri bersama keluarga, sepertiga untuk diberikan kepada tetangga dan saudara, dan sepertiga lainnya untuk disedekahkan kepada orang-orang miskin dan membutuhkan. Pembagian ini bertujuan untuk menyebarkan keberkahan dan manfaat kurban kepada masyarakat luas.
Selain dikonsumsi dan dibagikan dalam bentuk daging mentah, shohibul kurban juga dapat mengolah daging kurban menjadi berbagai masakan untuk kemudian dibagikan kepada masyarakat. Hal ini bahkan lebih dianjurkan karena dapat memberikan manfaat yang lebih praktis bagi penerima. Daging yang sudah diolah menjadi masakan siap saji dapat langsung dinikmati tanpa perlu repot mengolahnya lagi.
Bagian lain dari hewan kurban seperti kulit juga dapat dimanfaatkan dengan cara yang baik. Kulit dapat diolah menjadi berbagai produk yang bermanfaat seperti tas, sepatu, atau kerajinan lainnya yang kemudian dapat digunakan sendiri atau diberikan kepada orang lain. Yang terpenting adalah pemanfaatan dilakukan dengan niat ibadah dan tidak untuk tujuan komersial bagi shohibul kurban.
فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ
Artinya: "Maka makanlah sebagian dari hewan kurban tersebut, dan bagikan sebagian lainnya kepada orang-orang yang miskin dan membutuhkan." (QS. Al-Hajj: 28)
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa hukum menjual daging kurban berbeda antara shohibul kurban dengan penerima daging kurban. Shohibul kurban dilarang keras untuk menjual bagian apapun dari hewan kurbannya, termasuk daging, kulit, tulang, dan bagian lainnya. Larangan ini bertujuan untuk menjaga kemurnian dan nilai spiritual dari ibadah kurban yang telah dilaksanakan.