Bulan Suro Berapa Hari? Kenali Tradisi dan Larangan di Sekitarnya

6 hours ago 1

Liputan6.com, Jakarta Setiap kali bulan Suro tiba, sebagian masyarakat Jawa seakan diselimuti suasana batin yang lebih sunyi dan penuh kehati-hatian. Bukan tanpa alasan, bulan pertama dalam kalender Jawa ini diyakini membawa aura sakral yang kuat dan menjadi momen refleksi spiritual mendalam. Malam 1 Suro pun selalu dinantikan sebagai simbol pergantian tahun Jawa yang membawa nuansa berbeda dibandingkan perayaan tahun baru lainnya.

Di balik kesakralannya, bulan Suro juga menyimpan berbagai aturan tak tertulis berupa larangan yang masih dipegang teguh sebagian masyarakat. Ada yang menghindari hajatan, ada pula yang memilih menyepi dan menahan diri dari aktivitas duniawi. Tradisi seperti kirab pusaka, tapa bisu, hingga jamasan pusaka dilakukan sebagai bentuk penghormatan terhadap nilai-nilai spiritual dan budaya leluhur.

Lalu, sebenarnya kapan Bulan Suro 2025 berlangsung dan bagaimana masyarakat menjalani hari-harinya dalam suasana penuh tradisi ini? Mari simak informasi lengkapnya berikut dalam urutan yang runtut dan kaya akan makna sejarah serta budaya.

Kapan Bulan Suro 2025 Dimulai dan Berakhir?

Bulan Suro dalam kalender Jawa 1959 Dal dimulai pada Jumat Kliwon, 27 Juni 2025 dan akan berakhir pada Jumat Pon, 25 Juli 2025, yang berarti berlangsung selama 29 hari. Perlu diketahui bahwa dalam sistem penanggalan Jawa yang mengadopsi metode qomariyah, pergantian hari dimulai sejak matahari terbenam, bukan tengah malam seperti dalam kalender masehi.

Tanggal Malam 1 Suro—yang dianggap paling sakral—jatuh pada Kamis malam, 26 Juni 2025, sekaligus menandakan 1 Muharram 1447 H dalam kalender Hijriah. Dalam kepercayaan masyarakat Jawa, malam itu diyakini sebagai momen ketika energi spiritual sangat kuat, bahkan dianggap sebagai 'gerbang' antara dunia nyata dan alam gaib.

Mengutip dari situs kratonjogja.id, kalender Jawa, yang juga dikenal sebagai Kalender Sultan Agungan, diciptakan pada masa pemerintahan Sultan Agung (1613–1645), raja ketiga Kerajaan Mataram Islam, sebagai solusi atas ketidaksinkronan antara perayaan adat Jawa yang menggunakan kalender Saka—berbasis peredaran matahari—dengan perayaan hari besar Islam yang menggunakan kalender Hijriyah berbasis bulan.

Untuk menyelaraskan keduanya, Sultan Agung menciptakan sistem penanggalan baru yang menggabungkan unsur kalender Saka dan Hijriyah, mempertahankan tahun Saka namun mengganti sistem perhitungannya dengan sistem lunar. Perubahan ini dilakukan tanpa memutus kesinambungan perhitungan waktu dari sistem lama, sehingga tidak menimbulkan kekacauan dalam masyarakat maupun dalam pencatatan sejarah.

Bulan Suro menjadi pembuka tahun baru Jawa yang diikuti oleh sebelas bulan lainnya seperti Sapar, Mulud, hingga Besar. Karena dimaknai sebagai bulan sakral, masyarakat cenderung lebih memilih bersikap hening dan menahan diri dibanding mengadakan perayaan besar seperti lazimnya tahun baru kalender umum.

Pantangan di Bulan Suro

Masyarakat Jawa mengenal sejumlah larangan selama bulan Suro yang dipercaya untuk menjaga keselamatan dan menghindari malapetaka. Larangan-larangan ini bersifat adat dan spiritual, namun masih dipegang oleh banyak kalangan hingga kini.

Salah satu larangan utama adalah tidak menyelenggarakan hajatan, termasuk pernikahan atau sunatan. Hal ini dipercaya akan mendatangkan kesialan atau gangguan dalam kehidupan rumah tangga yang baru dibangun. Oleh karena itu, banyak pasangan yang memilih menunda pernikahan hingga bulan berikutnya.

Selain itu, larangan pindah rumah juga masih dipercaya. Masyarakat khawatir bahwa pindah tempat tinggal di bulan Suro bisa mengundang energi negatif atau bahkan bencana di tempat baru. Demikian pula larangan memulai pembangunan rumah yang diyakini akan membuat bangunan tersebut mudah rusak atau tidak membawa keberkahan.

Tidak hanya itu, masyarakat juga diimbau tidak bepergian jauh, tidak bersuara keras, hingga menghindari aktivitas gaib atau spiritual yang tidak perlu. Selama bulan Suro, dianjurkan untuk menjaga ketenangan, berzikir, berdoa, atau melakukan laku prihatin seperti tirakat dan puasa mutih.

Tradisi Malam 1 Suro di Keraton dan Masyarakat Jawa

Tradisi malam 1 Suro di berbagai wilayah, khususnya di Yogyakarta dan Surakarta (Solo), masih berlangsung dengan penuh khidmat. Di Keraton Yogyakarta, malam Suro diisi dengan Jamasan Pusaka—ritual penyucian benda-benda pusaka seperti keris, kereta kencana, hingga gamelan. Menurut laman kebudayaan.jogjakota.go.id menjelaskan, tradisi ini dilakukan di hari-hari tertentu di bulan Suro.

Selain itu, Keraton Yogyakarta juga melaksanakan prosesi Mubeng Beteng, yaitu berjalan mengelilingi benteng keraton sejauh 4 km tanpa suara dan tanpa alas kaki. Prosesi ini dilengkapi dengan Tapa Bisu, ritual hening total sebagai bentuk introspeksi batin dan doa.

Masyarakat juga menyajikan makanan khusus seperti Bubur Suro yang dibuat dari beras dengan bumbu khas serta tambahan tujuh jenis kacang sebagai simbol doa sepanjang minggu.

Sementara itu di Keraton Kasunanan Surakarta, tradisi utamanya adalah Kirab Malam Suro yang mengikutsertakan Kebo Bule Kiai Slamet, seekor kerbau albino yang dipercaya sebagai hewan pusaka. Prosesi ini menyedot perhatian ribuan warga dan wisatawan setiap tahunnya.

Spiritualitas dan Laku Pribadi Masyarakat Saat Bulan Suro

Selain mengikuti tradisi keraton, masyarakat umum juga menjalani bulan Suro dengan berbagai praktik spiritual secara pribadi. Salah satunya adalah tirakat, yakni menjalani hidup dengan prihatin, puasa, dan memperbanyak ibadah sebagai upaya membersihkan batin.

Bulan Suro dianggap sebagai waktu terbaik untuk melakukan introspeksi diri. Oleh karena itu, banyak masyarakat yang memilih menyepi, baik di rumah maupun ke tempat-tempat sakral seperti sendang, gunung, atau makam leluhur.

Beberapa komunitas juga mengadakan pengajian akbar, selametan, dan kungkum (berendam di sungai) di malam hari sebagai simbol penyucian diri. Aktivitas yang bersifat hiburan atau duniawi, seperti pesta atau konser, sangat dihindari karena dianggap mengurangi kesakralan bulan Suro.

Penelitian seperti yang dipaparkan dalam jurnal "Tradisi Ritual Bulan Suro pada Masyarakat Jawa di Desa Sambirejo Timur" juga menegaskan bahwa bulan Suro dianggap sangat penting karena menjadi waktu introspeksi, permohonan ampun, dan keselamatan dari musibah.

Bulan ini menjadi semacam “bulan sunyi” yang tidak hanya diisi oleh ritual adat, tetapi juga oleh kesadaran spiritual personal yang kuat. Meski zaman terus berganti, pemaknaan terhadap Suro sebagai waktu refleksi dan penyucian diri tetap terasa relevan bagi banyak kalangan.

Bulan Suro dalam Perspektif Islam dan Masyarakat Modern

Sebagian masyarakat juga mempertanyakan relevansi larangan-larangan tersebut dalam perspektif Islam. Dalam ajaran Islam sendiri, tidak ada larangan menikah atau pindah rumah di bulan Muharram (yang bertepatan dengan Suro). Namun, nilai-nilai kehati-hatian dan penghormatan terhadap peristiwa bersejarah seperti tragedi Karbala tetap menjadi pertimbangan.

Meski demikian, kepercayaan masyarakat Jawa terhadap mitos dan pantangan bulan Suro lebih bersifat kultural dan tradisional. Hal ini tidak bertentangan secara langsung dengan ajaran agama, melainkan menjadi bagian dari identitas dan kearifan lokal.

Masyarakat modern mulai menyikapi tradisi ini dengan lebih fleksibel. Ada yang tetap menjalankan tradisi dan larangan sebagai bentuk hormat kepada leluhur, ada pula yang lebih memilih pendekatan rasional, namun tetap menghargai keberadaan budaya tersebut.

Yang jelas, bulan Suro mengandung pesan universal tentang perlunya introspeksi, kesadaran spiritual, dan menjaga keselarasan dengan alam dan sesama manusia. Sebuah pesan yang tak lekang oleh waktu, di tengah perubahan zaman yang serba cepat.

Tanya Jawab Seputar Bulan Suro

1. Bulan Suro berlangsung sampai tanggal berapa?

Bulan Suro 2025 berlangsung dari 27 Juni sampai 25 Juli 2025, total 29 hari.

2. Mengapa bulan Suro dianggap sakral?

Karena dipercaya sebagai bulan penuh energi spiritual, bertepatan dengan 1 Muharram, dan terkait sejarah penanggalan Jawa oleh Sultan Agung.

3. Apa larangan utama selama bulan Suro?

Tidak menikah, tidak pindah rumah, tidak mengadakan pesta besar, serta tidak bepergian jauh tanpa keperluan penting.

4. Apakah semua orang Jawa mengikuti larangan Suro?

Tidak semua, namun sebagian besar masyarakat masih menghormati tradisi tersebut sebagai bentuk adat leluhur.

5. Apa tradisi utama di malam 1 Suro?

Kirab pusaka, jamasan pusaka, mubeng beteng, tapa bisu, kungkum, serta menyantap bubur Suro.

Read Entire Article
Hasil Tangan | Tenaga Kerja | Perikanan | Berita Kumba|