Liputan6.com, Jakarta Tradisi tirakat malam 1 Suro merupakan salah satu praktik spiritual yang telah mengakar dalam kehidupan masyarakat Jawa selama berabad-abad. Sebagai bagian dari perayaan tahun baru Jawa, tradisi tirakat malam 1 Suro tidak hanya menjadi ritual keagamaan, tetapi juga cerminan dari kearifan lokal yang menggabungkan nilai-nilai Islam dengan budaya Jawa.
Pelaksanaan tradisi tirakat malam 1 Suro biasanya dimulai setelah maghrib pada tanggal 1 Suro dalam kalender Jawa, yang bertepatan dengan 1 Muharram dalam kalender Islam. Masyarakat Jawa percaya bahwa malam ini adalah waktu yang suci dan penuh berkah, sehingga mereka melakukan berbagai bentuk tirakat untuk mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Keunikan tradisi tirakat malam 1 Suro terletak pada filosofi yang mendasarinya, yaitu prinsip "prihatin" atau kesederhanaan. Melalui praktik ini, masyarakat Jawa berusaha untuk mengendalikan nafsu duniawi dan memperkuat hubungan spiritual dengan Sang Pencipta, menjadikan malam sakral ini sebagai momentum untuk introspeksi dan pemurnian jiwa.
Berikut ini penjelasan lenkapnya, yang telah Liputan6.com rangkum pada Jumat (27/6).
Tari Caping di Malam Tirakatan 17 Agustus
Sejarah dan Latar Belakang Tradisi Tirakat Malam 1 Suro
Tradisi tirakat pada malam 1 Suro memiliki akar sejarah yang mendalam, bermula dari masa pemerintahan Sultan Agung Hanyokrokusumo dari Kerajaan Mataram sekitar tahun 1628-1629. Setelah mengalami kekalahan dalam penyerangan Batavia, Sultan Agung menyadari pentingnya menyatukan rakyatnya yang terpecah karena perbedaan keyakinan. Untuk itu, beliau menciptakan kalender Jawa-Islam yang menggabungkan sistem penanggalan Saka Hindu dengan kalender Islam.
Dalam upaya menyatukan kelompok santri dan abangan, Sultan Agung menetapkan bahwa malam 1 Suro harus diisi dengan kegiatan yang bersifat spiritual dan kontemplasi. Beliau menekankan pentingnya prihatin, tidak berpesta, dan menjauhkan diri dari hal-hal yang bersifat duniawi pada malam tersebut. Konsep ini kemudian berkembang menjadi tradisi tirakat yang dilakukan dengan cara menyepi, memohon kepada Tuhan, dan bertapa.
Keraton Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta hingga kini masih menjaga tradisi ini dengan menganggap malam 1 Suro sebagai malam yang suci dan bulan yang penuh rahmat. Tradisi yang diwariskan secara turun-temurun ini mencerminkan upaya untuk mempertahankan jati diri kejawaan sambil tetap mengakomodasi nilai-nilai Islam yang telah diterima masyarakat.
Sultan Agung juga menciptakan tradisi ziarah kubur setiap Jumat Legi ke makam-makam suci seperti Ngampel dan Giri, yang kemudian membuat masyarakat menganggap bahwa 1 Suro yang jatuh pada Jumat Legi menjadi waktu yang sangat keramat. Hal ini memperkuat keyakinan bahwa malam tersebut harus diisi dengan kegiatan-kegiatan yang bersifat ibadah dan spiritual.
Berbagai Bentuk Tirakat yang Dilakukan
Praktik tirakat pada malam 1 Suro memiliki berbagai bentuk yang dapat dilakukan secara individual maupun berkelompok. Salah satu bentuk tirakat yang paling umum adalah ritual bisu atau "mutih", di mana seseorang menahan diri dari berbicara, makan, minum, bahkan merokok selama malam tersebut. Ritual ini sering dilakukan di area Keraton Yogyakarta dan diyakini dapat membantu seseorang mencapai kedamaian batin serta mendekatkan diri kepada Tuhan.
Bentuk tirakat lainnya adalah melakukan perenungan diri atau "tafakur" dengan cara menyendiri di tempat yang tenang. Beberapa orang memilih untuk melakukan tirakat di makam-makam keramat atau tempat-tempat yang dianggap sakral. Mereka percaya bahwa dengan melakukan kontemplasi di tempat-tempat tersebut, doa dan permohonan mereka akan lebih mudah dikabulkan oleh Tuhan Yang Maha Esa.
Selain itu, ada juga yang melakukan tirakat dengan cara berpuasa penuh atau "ngrowot", yaitu tidak makan dan minum sama sekali dari maghrib hingga fajar. Praktik ini dilakukan sebagai bentuk pengendalian diri dan pemurnian jiwa. Beberapa orang juga melakukan "lelaku" atau amalan khusus seperti membaca wirid tertentu atau melakukan sholat tahajud dengan khusyuk sepanjang malam.
Tirakat juga dapat dilakukan secara berkelompok melalui kegiatan selametan khusus yang berlangsung selama satu minggu. Dalam acara ini, masyarakat berkumpul untuk melakukan doa bersama, membaca Alquran, dan berbagi makanan sederhana. Kegiatan ini memperkuat rasa kebersamaan dan solidaritas dalam menjalani praktik spiritual.
Berbagai bentuk tirakat dilakukan pada Malam 1 Suro sebagai laku spiritual. Tujuannya membersihkan diri dan mendekatkan diri kepada Tuhan. Berikut ini beberapa contohnya:
- Lek-lekan: Tidak tidur semalam suntuk.
- Tuguran: Perenungan diri sambil berdoa, sebagai bentuk introspeksi dan pengendalian diri.
- Puasa: Menahan diri dari makan dan minum.
- Berdoa dan Meditasi: Menyempatkan waktu untuk bermunajat dan merenungkan diri.
Ritual Topo Bisu juga menjadi bagian dari tradisi. Ritual ini dilakukan dengan berjalan mengelilingi benteng keraton tanpa berbicara, sebagai simbol perenungan dan keprihatinan. Selain itu, ada pula Larung Sesaji, yaitu melempar sesaji ke laut atau sungai untuk membersihkan diri dari energi negatif.
Keraton Yogyakarta dan Surakarta memiliki upacara dan ritual khusus yang diwariskan secara turun-temurun. Salah satu contohnya adalah tradisi Jamasan benda pusaka di TMII. Bentuk perayaan Malam 1 Suro dapat berbeda-beda di setiap daerah di Jawa. Ada yang melakukan ritual secara individu, ada pula yang melakukannya secara kelompok.
Tradisi Tirakat di Keraton Yogyakarta dan Surakarta
Keraton Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta merupakan pusat pelestarian tradisi tirakat malam 1 Suro yang paling otentik. Di Keraton Yogyakarta, tradisi ini dilaksanakan dengan ritual "Mubeng Benteng" yang merupakan bentuk tirakat berupa berjalan kaki mengelilingi benteng keraton. Para abdi dalem dan masyarakat umum berjalan tanpa alas kaki sambil melafalkan tasbih dan berdoa, sebagai simbol pendekatkan diri kepada alam semesta dan Sang Pencipta.
Selain Mubeng Benteng, Keraton Yogyakarta juga melaksanakan tradisi "Jamasan Pusaka" atau pembersihan benda-benda pusaka keraton. Kegiatan ini dilakukan sebagai bentuk penghormatan terhadap warisan leluhur sekaligus sebagai penyambutan malam 1 Suro. Aspek spiritual dari tradisi ini adalah untuk membersihkan energi negatif dan mengundang berkah untuk tahun yang akan datang.
Di Kasunanan Surakarta, tradisi tirakat malam 1 Suro ditandai dengan kehadiran "Kebo Bule Kyai Slamat" yang merupakan kerbau albino keturunan hewan kesayangan Paku Buwono II. Kehadiran hewan ini dalam prosesi malam 1 Suro dianggap sebagai simbol kemurnian dan keberkahan. Masyarakat Solo percaya bahwa melihat Kebo Bule pada malam 1 Suro akan membawa keberuntungan.
Kedua keraton ini juga melaksanakan berbagai ritual internal yang melibatkan para abdi dalem untuk melakukan tirakat bersama. Mereka melakukan meditasi, doa bersama, dan pembacaan doa-doa khusus dalam bahasa Jawa dan Arab. Tradisi ini menjadi contoh bagaimana nilai-nilai spiritual dapat dipertahankan dan dilestarikan dalam kehidupan modern.
Pantangan dan Larangan pada Malam 1 Suro
Dalam tradisi tirakat malam 1 Suro, terdapat berbagai pantangan dan larangan yang harus dipatuhi oleh masyarakat Jawa. Salah satu larangan utama adalah tidak boleh keluar rumah kecuali untuk keperluan ibadah seperti ke masjid atau ziarah kubur. Kepercayaan ini muncul karena malam 1 Suro dianggap sebagai waktu di mana dunia gaib dan dunia manusia bertemu, sehingga keluar rumah tanpa tujuan yang jelas dapat membawa kesialan.
Larangan lainnya adalah tidak boleh berbicara dengan suara keras atau membuat keributan. Malam 1 Suro seharusnya diisi dengan ketenangan dan kedamaian, sehingga segala bentuk aktivitas yang dapat mengganggu kesakralan malam tersebut harus dihindari. Beberapa keluarga bahkan melakukan ritual bisu total di mana seluruh anggota keluarga tidak berbicara sama sekali selama beberapa jam.
Masyarakat Jawa juga percaya bahwa malam 1 Suro bukanlah waktu yang tepat untuk menggelar pesta pernikahan atau pindah rumah. Aktivitas-aktivitas besar seperti ini dianggap tidak sesuai dengan spirit prihatin dan kesederhanaan yang menjadi ciri khas malam tersebut. Meskipun demikian, larangan-larangan ini lebih bersifat tradisi dan tidak ada sanksi agama yang mengikat.
Pantangan lainnya adalah tidak boleh makan berlebihan atau melakukan aktivitas yang bersifat hedonis. Malam 1 Suro seharusnya diisi dengan makanan sederhana dan kegiatan yang bersifat spiritual. Beberapa keluarga bahkan hanya menyediakan makanan putih seperti nasi putih, tempe, dan air putih sebagai simbol kesucian dan kesederhanaan dalam menjalani tirakat.
Tanya Jawab (QnA) Seputar Tradisi Tirakat Malam 1 Suro
Q: Apakah tradisi tirakat malam 1 Suro bertentangan dengan ajaran Islam?
A: Tradisi tirakat malam 1 Suro tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Justru tradisi ini merupakan hasil dari penggabungan nilai-nilai Islam dengan budaya Jawa yang dilakukan oleh Sultan Agung. Praktik tirakat seperti berpuasa, berdzikir, dan mendekatkan diri kepada Allah SWT sejalan dengan ajaran Islam. Namun, yang perlu dihindari adalah kepercayaan-kepercayaan yang bersifat syirik atau bertentangan dengan tauhid.
Q: Siapa saja yang boleh melakukan tradisi tirakat malam 1 Suro?
A: Tradisi tirakat malam 1 Suro dapat dilakukan oleh siapa saja yang memiliki niat baik untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, tanpa memandang usia atau status sosial. Namun, untuk bentuk tirakat yang berat seperti puasa penuh atau ritual bisu, sebaiknya dilakukan oleh orang yang sehat jasmani dan rohani. Anak-anak dan orang tua yang memiliki kondisi kesehatan tertentu sebaiknya melakukan bentuk tirakat yang lebih ringan.
Q: Bagaimana cara memulai tradisi tirakat bagi pemula?
A: Bagi pemula, disarankan untuk memulai dengan bentuk tirakat yang sederhana seperti melakukan sholat tahajud, membaca Al-Quran, atau berdzikir sepanjang malam. Mulailah dengan mengurangi aktivitas duniawi seperti menonton televisi atau bermain gadget, kemudian fokus pada ibadah dan perenungan diri. Yang terpenting adalah niat yang tulus untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, bukan sekadar mengikuti tradisi.
Q: Apakah ada perbedaan tradisi tirakat antara daerah satu dengan daerah lainnya di Jawa?
A: Ya, terdapat perbedaan dalam pelaksanaan tradisi tirakat di berbagai daerah di Jawa. Di Yogyakarta terdapat ritual Mubeng Benteng dan Jamasan Pusaka, sementara di Solo ada tradisi Kebo Bule. Daerah-daerah lain juga memiliki ciri khas tersendiri, namun esensi dari tradisi tirakat tetap sama yaitu mendekatkan diri kepada Tuhan melalui prihatin dan kesederhanaan. Perbedaan ini menunjukkan kekayaan budaya Jawa yang beragam namun tetap dalam satu kesatuan spiritual.
Q: Apakah ada manfaat khusus yang bisa dirasakan setelah melakukan tirakat malam 1 Suro?
A: Secara spiritual, banyak orang yang merasakan kedamaian batin, ketenangan jiwa, dan perasaan lebih dekat dengan Tuhan setelah melakukan tirakat. Dari segi psikologis, praktik tirakat dapat membantu seseorang untuk lebih mengendalikan diri, meningkatkan kesabaran, dan memperkuat mental. Namun, yang terpenting adalah niat dan keikhlasan dalam melakukan tirakat, karena segala bentuk ibadah akan mendapat balasan dari Allah SWT sesuai dengan niat dan usaha kita.