Liputan6.com, Jakarta Momen tahun baru Islam (1 Muharram) di Indonesia kerap diwarnai dengan tradisi Jawa yang dikenal sebagai 1 Suro. Perayaan ini menjadi bagian dari kehidupan masyarakat, terutama di kalangan yang masih memegang teguh adat dan budaya. Namun, seringkali muncul pertanyaan mengenai esensi dari kedua perayaan ini. Apakah keduanya sama, atau terdapat perbedaan mendasar yang perlu dipahami?
Artikel ini bertujuan untuk mengupas perbedaan esensial antara 1 Muharram, yang merupakan hari suci dalam agama Islam, dan 1 Suro, yang merupakan hasil akulturasi budaya Jawa dan Islam. Pemahaman yang mendalam mengenai kedua perayaan ini penting agar kita dapat menghargai keragaman budaya tanpa mengesampingkan nilai-nilai agama.
Fokus utama kita adalah pada perbedaan 1 Suro dan 1 Muharram. Dengan memahami perbedaan ini, kita dapat merayakan keduanya dengan cara yang tepat, sesuai dengan keyakinan dan tradisi yang kita anut. Artikel ini akan membahas perbedaan dari sudut pandang agama Islam dan budaya Jawa, serta mencari titik temu yang mungkin ada di antara keduanya.
Simak penjelasan selengkapnya berikut ini, sebagaimana telah Liputan6.com rangkum dari berbagai sumber, Jumat (27/6/2025).
Satu Muharam atau satu suro menjadi momen yang dianggap sakral. di momen ini, banyak warga yang berdoa memohon berkah demi pencapaian tujuan tertentu.
Pengertian Dasar
Sebelum membahas lebih jauh mengenai perbedaan antara 1 Suro dan 1 Muharram, penting untuk memahami pengertian dasar dari masing-masing perayaan ini. Pemahaman yang baik mengenai pengertian dasar ini akan membantu kita dalam memahami perbedaan yang lebih mendalam di antara keduanya.
Mari kita mulai dengan membahas pengertian 1 Muharram, yang merupakan bagian penting dari kalender Islam. Kemudian, kita akan membahas mengenai 1 Suro, yang merupakan bagian dari tradisi Jawa yang kaya akan nilai-nilai budaya.
1 Muharram
1 Muharram adalah bulan pertama dalam kalender Hijriyah, yang menandai awal tahun baru Islam. Bulan ini memiliki kedudukan yang istimewa dalam agama Islam, karena merupakan salah satu dari asyhurul hurum (bulan-bulan suci). Keistimewaan bulan Muharram ini didasarkan pada beberapa ayat Al-Qur'an dan hadis Nabi Muhammad SAW.
Salah satu landasan mengenai kesucian bulan Muharram adalah firman Allah SWT dalam QS. At-Taubah: 36, yang menyatakan bahwa di antara dua belas bulan dalam setahun, terdapat empat bulan haram (suci). Bulan Muharram termasuk dalam salah satu dari empat bulan tersebut.
Selain itu, terdapat hadis Nabi SAW yang menyebutkan bahwa Muharram adalah "bulan Allah". Hal ini menunjukkan bahwa bulan Muharram memiliki keutamaan dan keberkahan yang khusus dari Allah SWT. Oleh karena itu, umat Islam dianjurkan untuk memperbanyak ibadah dan amal kebaikan di bulan ini.
1 Suro
1 Suro adalah hari pertama dalam penanggalan Jawa-Islam, yang merupakan hasil akulturasi budaya yang dilakukan oleh Sultan Agung pada tahun 1633 M. Penanggalan ini merupakan perpaduan antara kalender Saka (Hindu) dan kalender Hijriyah (Islam). Tujuan dari akulturasi ini adalah untuk menyatukan masyarakat Jawa yang memiliki latar belakang keyakinan yang berbeda.
Nama "Suro" sendiri berasal dari pelafalan Jawa terhadap kata "Asyura", yang dalam kalender Islam merujuk pada tanggal 10 Muharram. Tanggal 10 Muharram memiliki makna penting dalam sejarah Islam, karena pada hari itu terjadi beberapa peristiwa penting, seperti diselamatkannya Nabi Musa AS dari kejaran Fir'aun.
Dalam tradisi Jawa, 1 Suro dianggap sebagai malam yang sakral dan penuh dengan nuansa spiritual. Masyarakat Jawa seringkali melakukan berbagai ritual dan upacara adat pada malam 1 Suro, sebagai bentuk penghormatan terhadap leluhur dan permohonan keselamatan serta keberkahan.
Pandangan Islam: Amalan Malam 1 Muharram
Dalam agama Islam, malam 1 Muharram memiliki kedudukan yang istimewa sebagai awal tahun baru Hijriyah. Malam ini menjadi momentum bagi umat Islam untuk melakukan introspeksi diri, memperbanyak ibadah, dan memohon ampunan kepada Allah SWT. Terdapat beberapa amalan yang dianjurkan untuk dilakukan di malam 1 Muharram, sebagai bentuk penghormatan terhadap bulan yang mulia ini.
Amalan-amalan ini didasarkan pada ajaran Rasulullah SAW dan para ulama, yang menekankan pentingnya memanfaatkan bulan Muharram sebagai waktu untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dengan melakukan amalan-amalan ini, diharapkan umat Islam dapat memulai tahun baru dengan hati yang bersih dan penuh keberkahan.
Landasan Spiritual
Muharram dikenal sebagai "bulan Allah", sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim. Penyebutan ini menunjukkan bahwa bulan Muharram memiliki keutamaan dan keberkahan yang khusus dari Allah SWT. Oleh karena itu, umat Islam dianjurkan untuk memperbanyak ibadah dan amal kebaikan di bulan ini.
Selain itu, Rasulullah SAW juga menganjurkan umatnya untuk berpuasa, berdoa, dan melakukan muhasabah (introspeksi diri) di bulan Muharram. Amalan-amalan ini bertujuan untuk membersihkan diri dari dosa-dosa yang telah lalu dan mempersiapkan diri untuk menghadapi tahun yang baru dengan semangat yang baru pula.
Amalan Utama
Berikut adalah beberapa amalan utama yang dianjurkan untuk dilakukan di malam 1 Muharram:
- Puasa sunnah. Rasulullah SAW bersabda, "Puasa yang paling utama setelah Ramadan adalah puasa pada bulan Allah, Muharram." (HR. Muslim).
- Membaca doa awal tahun. Doa ini dibaca setelah Maghrib pada malam 1 Muharram, sebagai ungkapan syukur atas nikmat Allah SWT dan permohonan keberkahan di tahun yang baru.
- Memperbanyak dzikir, sedekah, dan istighfar. Amalan-amalan ini bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dan membersihkan diri dari dosa-dosa.
- Shalat malam (Tahajud, Taubat). Shalat malam merupakan amalan yang sangat dianjurkan dalam Islam, terutama di bulan-bulan yang mulia seperti Muharram.
- Introspeksi diri dan silaturahmi. Malam 1 Muharram menjadi momentum yang tepat untuk merenungkan diri atas segala perbuatan yang telah dilakukan di tahun yang lalu, serta mempererat tali silaturahmi dengan keluarga, kerabat, dan teman.
Tradisi Jawa: Ritual Malam 1 Suro
Dalam tradisi Jawa, malam 1 Suro memiliki makna yang mendalam dan dianggap sebagai waktu yang sakral. Masyarakat Jawa meyakini bahwa pada malam ini, dunia nyata dan dunia gaib saling bersinggungan, sehingga malam ini menjadi waktu yang tepat untuk melakukan berbagai ritual dan upacara adat. Ritual-ritual ini bertujuan untuk memohon keselamatan, keberkahan, dan perlindungan dari segala macam bahaya.
Selain itu, malam 1 Suro juga menjadi momentum bagi masyarakat Jawa untuk melakukan introspeksi diri, membersihkan diri dari hawa nafsu duniawi, dan mempererat hubungan dengan leluhur. Dengan melakukan ritual-ritual ini, diharapkan masyarakat Jawa dapat memperoleh kedamaian batin dan keberkahan dalam hidup.
Filosofi Sakral
Malam 1 Suro dianggap sebagai malam pertemuan antara alam nyata dan alam gaib. Masyarakat Jawa meyakini bahwa pada malam ini, arwah leluhur turun ke dunia untuk memberikan berkah dan perlindungan kepada keturunannya. Oleh karena itu, malam ini menjadi waktu yang tepat untuk melakukan berbagai ritual dan upacara adat sebagai bentuk penghormatan terhadap leluhur.
Selain itu, malam 1 Suro juga menjadi momentum untuk melakukan lelaku prihatin, yaitu serangkaian tindakan yang bertujuan untuk menyucikan diri dan membersihkan diri dari hawa nafsu duniawi. Lelaku prihatin ini dapat berupa puasa, tirakat, atau melakukan amalan-amalan spiritual lainnya.
Ritual & Larangan
Berikut adalah beberapa ritual dan larangan yang seringkali dilakukan oleh masyarakat Jawa pada malam 1 Suro:
-
Tradisi:
- Tapa bisu (diam tanpa bicara). Ritual ini dilakukan sebagai bentuk pengendalian diri dan refleksi diri.
- Ziarah kubur, jamasan pusaka, kirab kerbau bule (Solo). Ritual-ritual ini bertujuan untuk menghormati leluhur dan memohon keberkahan.
- Mubeng Beteng (Yogyakarta): jalan mengelilingi keraton dalam hening. Ritual ini dilakukan sebagai bentuk introspeksi diri dan permohonan keselamatan.
-
Pantangan:
- Keluar rumah (mitos pencarian tumbal). Masyarakat Jawa meyakini bahwa keluar rumah pada malam 1 Suro dapat mengundang bahaya.
- Pesta/pernikahan (dipercaya undang malapetaka). Mengadakan pesta atau pernikahan pada malam 1 Suro dianggap dapat membawa kesialan.
- Pindah rumah (dianggap pembawa sial). Pindah rumah pada malam 1 Suro dianggap dapat mendatangkan kesialan.
Titik Temu dan Perbedaan Utama
Setelah membahas mengenai pengertian dasar, amalan dalam Islam, dan tradisi Jawa, kini saatnya kita membahas mengenai titik temu dan perbedaan utama antara 1 Suro dan 1 Muharram. Pemahaman mengenai titik temu dan perbedaan ini penting agar kita dapat menghargai kedua perayaan ini dengan cara yang tepat.
Perbedaan 1 Suro dan 1 Muharram
Berikut adalah tabel yang merangkum perbedaan utama antara 1 Suro dan 1 Muharram:
Perbedaan 1 Muharram dan 1 Suro
Esensi | Ibadah mahdhah (tauhid) | Akulturasi spiritual-budaya |
Ritual | Puasa, doa, sedekah | Tapa bisu, kirab, pantangan |
Fokus | Mendekatkan diri pada Allah | Harmoni alam-leluhur |
Titik Temu
Meskipun terdapat perbedaan yang signifikan, 1 Suro dan 1 Muharram juga memiliki beberapa titik temu. Salah satunya adalah kesamaan semangat introspeksi dan penyucian diri. Baik dalam Islam maupun dalam tradisi Jawa, kedua perayaan ini menjadi momentum untuk merenungkan diri atas segala perbuatan yang telah dilakukan di tahun yang lalu, serta membersihkan diri dari dosa-dosa dan hawa nafsu duniawi.
Selain itu, silaturahmi dan sedekah juga menjadi nilai universal yang terdapat dalam kedua perayaan ini. Dalam Islam, silaturahmi dan sedekah merupakan amalan yang sangat dianjurkan, terutama di bulan-bulan yang mulia seperti Muharram. Demikian pula dalam tradisi Jawa, silaturahmi dan sedekah merupakan bagian penting dari upacara adat yang dilakukan pada malam 1 Suro.
Peran Sultan Agung dalam penyatuan kalender Saka dan Hijriyah juga menjadi titik temu yang penting antara 1 Suro dan 1 Muharram. Penyatuan kalender ini bertujuan untuk menciptakan harmoni antara kelompok santri (yang berpegang teguh pada ajaran Islam) dan kelompok abangan (yang lebih menekankan pada tradisi Jawa). Dengan demikian, 1 Suro dan 1 Muharram dapat dirayakan bersama-sama oleh seluruh masyarakat Jawa, tanpa memandang perbedaan keyakinan.
Contoh Akulturasi: Perayaan di Keraton
Perayaan 1 Suro di Keraton Yogyakarta dan Surakarta merupakan contoh nyata dari akulturasi budaya antara Islam dan tradisi Jawa. Keraton sebagai pusat kebudayaan Jawa melestarikan berbagai ritual dan upacara adat yang sarat dengan nilai-nilai spiritual dan filosofi Jawa, namun tetap menghormati nilai-nilai Islam.
Yogyakarta
Di Yogyakarta, perayaan 1 Suro ditandai dengan beberapa ritual yang khas, seperti Mubeng Beteng, yaitu ritual jalan kaki mengelilingi benteng Keraton Yogyakarta sepanjang 4 kilometer tanpa berbicara. Ritual ini dilakukan sebagai bentuk introspeksi diri dan permohonan keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Selain itu, terdapat pula tradisi Bubur Suran, yaitu penyajian bubur gurih yang berisi lauk pauk dan tujuh jenis kacang. Bubur ini melambangkan tujuh hari dalam sepekan, sebagai simbol syukur kepada Tuhan atas segala nikmat yang telah diberikan.
Surakarta
Di Surakarta, perayaan 1 Suro ditandai dengan Kirab Kebo Bule, yaitu arak-arakan kerbau putih yang diyakini membawa tuah dan perlindungan. Kerbau putih ini merupakan hewan yang dianggap suci oleh masyarakat Jawa, karena memiliki kekuatan spiritual yang dapat melindungi dari segala macam bahaya.
Selain itu, terdapat pula tradisi Jamasan pusaka, yaitu penyucian benda-benda pusaka keraton. Ritual ini bertujuan untuk menghormati leluhur dan memohon keberkahan agar keraton senantiasa dilindungi dari segala macam malapetaka.
Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa inti perbedaan antara 1 Muharram dan 1 Suro terletak pada fokusnya. 1 Muharram berfokus pada ibadah vertikal (hablum minallah), yaitu hubungan antara manusia dengan Allah SWT. Sementara itu, 1 Suro lebih sarat dengan kearifan budaya, yaitu harmoni antara manusia, alam, dan leluhur.
Sebagai penutup, penting untuk diingat bahwa kita harus menghormati perbedaan sebagai kekayaan budaya, namun tetap memprioritaskan amalan-amalan yang berbasis pada dalil syar'i. Mari kita isi malam 1 Muharram dengan ibadah yang khusyuk, serta mengapresiasi tradisi Jawa tanpa melanggar akidah. Dengan demikian, kita dapat merayakan kedua perayaan ini dengan cara yang bijak dan penuh keberkahan.
FAQ
Berikut adalah beberapa pertanyaan yang sering diajukan mengenai perbedaan antara 1 Suro dan 1 Muharram:
Q1: Apakah 1 Muharram dan 1 Suro tanggalnya sama?
A: Ya, keduanya merujuk tanggal 1 bulan pertama kalender Hijriyah, tapi 1 Suro adalah istilah Jawa hasil akulturasi.
Q2: Mengapa tradisi 1 Suro banyak pantangan?
A: Berakar pada kepercayaan Jawa akan kesakralan malam, sementara Islam tidak mengenal larangan khusus selain yang bersifat syirik.
Q3: Bolehkah Muslim ikuti ritual 1 Suro?
A: Boleh selama tidak bertentangan dengan akidah (misal: ziarah kubur dengan tata cara Islam, sedekah). Hindari ritual mengandung syirik.
Q4: Mana yang lebih utama: amalan Islam atau tradisi Jawa?
A: Amalan Islam (puasa, doa) bersifat universal dan berdasar dalil. Tradisi Jawa bisa diikuti sebagai budaya lokal selama tak melanggar syariat.
Q5: Mengapa 1 Suro dianggap mistis?
A: Kentalnya nuansa kejawen (keseimbangan alam-gaib) dalam budaya Jawa, berbeda dengan Islam yang menekankan tauhid.